Tradisi keagamaan di Indonesia selalu menarik untuk ditelusuri, terutama ketika praktik tersebut telah mengakar kuat dalam kehidupan masyarakat. Salah satu tradisi yang kerap dijumpai di berbagai daerah adalah tahlilan, sebuah ritual doa bersama yang biasanya dilaksanakan untuk mendoakan orang yang telah wafat.
Meski hingga kini terdapat beragam pandangan mengenai praktik ini, tahlilan tetap menjadi bagian dari dinamika budaya dan keberagamaan masyarakat Muslim di Indonesia. Kawan GNFI, mari menelusuri bagaimana tradisi ini terbentuk dan berkembang di tanah air.
Akar Sejarah: Dari Timur Tengah hingga ke Nusantara
Istilah tahlil berasal dari bahasa Arab “لَا إِلٰهَ إِلَّا اللّٰهُ” (la ilaha illallah) yang berarti “tiada tuhan selain Allah”. Dalam tradisi keislaman, tahlil merupakan bagian dari zikir. Namun, format tahlilan sebagai ritual kolektif dengan susunan doa tertentu terbentuk melalui proses sejarah panjang, terutama melalui peran para ulama Ahlussunnah wa al-Jama’ah.
Pada masa awal Islam, umat Muslim sudah mengenal amalan berkumpul untuk berzikir dan membaca Al-Qur’an bersama. Tradisi ini kemudian berkembang menjadi majelis taklim, majelis zikir, dan pembacaan doa bersama yang dilakukan demi kebaikan umat. Ketika Islam memasuki kawasan Nusantara pada abad ke-13 hingga 16, para ulama membawa praktik keagamaan yang telah hidup di pusat dunia Islam tersebut.
Namun, perlu dipahami bahwa tahlilan tidak hadir sebagai “paket ritual” yang langsung dibawa dari Timur Tengah. Yang dibawa adalah konsep zikir bersama, doa untuk orang yang wafat, dan budaya mempererat persaudaraan. Sementara bentuknya yang khas seperti pelaksanaan pada malam ke-1, 3, 7, 40, 100, hingga haul merupakan hasil akulturasi dengan budaya lokal Nusantara yang pada masa pra-Islam sudah mengenal upacara kematian.
Jejak Ulama Nusantara dan Proses Islamisasi Budaya
Proses Islamisasi di Indonesia berjalan dengan pendekatan budaya, bukan konfrontasi. Para wali dan ulama memahami bahwa masyarakat Nusantara memiliki tradisi menghormati leluhur dan serangkaian upacara kematian. Alih-alih menghapus tradisi tersebut secara drastis, mereka melakukan transformasi nilai dengan mengisinya dengan ajaran Islam.
Tradisi selamatan kematian yang sebelumnya berupa ritual persembahan kemudian dialihkan menjadi kumpulan doa, pembacaan Al-Qur’an, dan zikir tahlil. Di sinilah peran para ulama lokal sangat penting. Mereka menyusun rangkaian tahlil, doa, hingga tata cara pelaksanaan yang kemudian tersebar luas melalui pesantren dan jaringan dakwah Islam tradisional.
Pada abad ke-19 dan 20, ormas keagamaan seperti Nahdlatul Ulama (NU) turut memainkan peran penting dalam menjaga tradisi ini, baik sebagai bagian dari budaya Islam Nusantara maupun sebagai sarana pendidikan keagamaan di tengah masyarakat. Melalui pesantren, kitab-kitab doa, dan bimbingan kiai, tahlilan menjadi praktik yang tidak hanya menjadi ritual, tetapi juga medium menjaga kebersamaan warga.
Makna Sosial: Lebih dari Sekadar Doa
Tahlilan tidak hanya dipahami sebagai ritual spiritual, tetapi juga kegiatan sosial yang mempererat hubungan antarwarga. Ketika keluarga sedang berduka, kehadiran tetangga dan kerabat untuk ikut mendoakan menjadi bentuk solidaritas yang hangat. Makanan yang disajikan bukanlah inti dari kegiatan, melainkan simbol bahwa keluarga yang berduka ingin berbagi kebaikan.
Dalam masyarakat pedesaan, tahlilan bahkan menjadi momen musyawarah, saling menguatkan, hingga gotong royong. Warga membantu menyiapkan tempat, menyusun kursi, menyediakan konsumsi, atau sekadar menemani keluarga yang kehilangan. Nilai-nilai sosial inilah yang membuat tahlilan mengakar kuat dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
Kontroversi dan Dinamika Pemahaman
Seperti banyak tradisi keagamaan lainnya, tahlilan juga menjadi perbincangan di kalangan umat Islam. Ada kelompok yang menganggap praktik ini tidak dilakukan secara spesifik oleh generasi awal (salaf), sehingga perlu dikaji ulang. Ada pula yang menilai tahlilan sebagai bentuk bid’ah hasanah amalan baru yang tetap bernilai kebaikan karena berisi doa, zikir, dan pembacaan Al-Qur’an.
Namun, terlepas dari perbedaan pandangan, tahlilan tetap berlangsung tanpa menyinggung pihak mana pun dan tidak dipaksakan kepada siapa pun. Di banyak tempat, masyarakat sudah saling memahami pilihan masing-masing. Tradisi ini berjalan sebagai bagian dari keberagaman praktik keagamaan di Indonesia.
Perkembangan di Era Modern
Memasuki era digital, tahlilan mengalami perluasan bentuk. Selama pandemi, misalnya, sebagian masyarakat mengadakan tahlilan daring melalui platform meeting. Meski dilakukan secara virtual, nilai dan tujuan utamanya tetap terjaga.
Beberapa komunitas juga mulai membagikan rekaman bacaan tahlil melalui kanal YouTube atau Instagram sebagai panduan bagi masyarakat luas. Selama tautan yang dibagikan valid dan dapat dipertanggungjawabkan, format ini menjadi cara baru menyebarkan kebaikan.
Tradisi tahlilan yang dulu hanya hidup di kampung-kampung kini memasuki ruang digital sebuah bukti bagaimana budaya Nusantara dapat beradaptasi dengan zaman tanpa kehilangan jati dirinya.
Penutup: Warisan Budaya, Ruang Kebersamaan
Tahlilan adalah warisan budaya Islam Nusantara yang lahir dari perpaduan nilai keagamaan dan tradisi lokal. Ia berkembang bukan karena dipaksakan, tetapi karena mengandung nilai-nilai kebersamaan, solidaritas, dan doa yang menenangkan bagi keluarga yang ditinggalkan.
Bagi sebagian masyarakat, tahlilan adalah cara menjaga hubungan dengan sesama. Bagi lainnya, ia adalah bentuk kecintaan kepada tradisi para ulama. Dan bagi kita semua, tahlilan adalah bagian dari kekayaan budaya bangsa yang patut dihormati selama tidak bertentangan dengan prinsip keagamaan dan nilai kemanusiaan.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News