Bencana banjir dan tanah longsor yang secara berulang melanda wilayah-wilayah di Sumatra, seperti Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, memiliki korelasi kuat dengan perubahan tutupan lahan.
Faktor deforestasi menjadi pemicu utama, di mana hutan hujan tropis yang kaya keanekaragaman hayati telah beralih fungsi menjadi perkebunan monokultur (terutama kelapa sawit), area pertambangan, dan permukiman.
Perubahan ini secara drastis mengurangi kemampuan ekosistem dalam menyerap dan mengatur aliran air.
Bagaimana Hutan Mengatur Tata Air?
Menurut Dr. Ir. Hatma Suryatmojo, S.Hut., M.Si., IPU, dosen dan peneliti Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM), hutan memiliki peran hidrologis yang sangat penting.
Dalam kondisi ideal, struktur hutan yang berlapis (tajuk pohon tinggi, strata bawah, dan penutup tanah) berfungsi sebagai sistem penahan dan penyerap air yang efektif. Hingga sepertiga air hujan dapat ditahan sementara oleh tajuk (interception), yang kemudian menguap kembali ke atmosfer.
Lebih dari separuh air lainnya diinfiltrasikan ke dalam tanah melalui serasah dan sistem perakaran yang kompleks, untuk kemudian disimpan sebagai air tanah atau dialirkan secara perlahan (base flow) ke sungai.
Ketika tutupan hutan hilang, mekanisme alamiah ini terputus. Air hujan langsung menghantam permukaan tanah, mengurangi daya serap, dan meningkatkan runoff atau aliran permukaan.
Volume air yang besar bergerak secara serentak dan cepat menuju saluran-saluran air, menyebabkan banjir bandang dan puncak debit (peak discharge) yang meningkat drastis.
"Neraca airnya pasti berubah dan debit puncaknya meningkat drastis," ujar Hatma dalam diskusi Pojok Bulaksumur yang dilansir laman UGM. Selain itu, ketiadaan jaringan akar untuk mengikat tanah meningkatkan kerentanan terhadap erosi dan gerakan massa tanah, yang berujung pada longsor.
Kelapa Sawit Tidak Mengganti Fungsi Hutan
Pendapat ini diperkuat oleh Dr. Ir. Mahawan Karuniasa, M.M., pakar lingkungan dari Universitas Indonesia. Dia menjelaskan bahwa perkebunan kelapa sawit monokultur tidak dapat menggantikan fungsi hidrologis hutan alam.
Pohon kelapa sawit memiliki sistem perakaran yang relatif dangkal dan seragam, berbeda dengan pepohonan di hutan heterogen yang memiliki akar tunjang dalam dan struktur perakaran yang berlapis. Akar yang dalam pada hutan alam meningkatkan porositas tanah dan kapasitas infiltrasi air.
Sebaliknya, di perkebunan sawit, infiltrasi air lebih sedikit. Akibatnya, dengan intensitas hujan yang sama, potensi banjir dan aliran permukaan jauh lebih besar terjadi di areal perkebunan sawit dibandingkan di dalam kawasan hutan.
Seperti Apa Tanaman Pelindung dari Banjir-Longsor?
Oleh karena itu, upaya rehabilitasi atau penghijauan kembali lahan kritis dan daerah aliran sungai (DAS) memerlukan pendekatan teknis yang tepat. Pemilihan jenis tanaman harus mempertimbangkan fungsi ekologis sebagai penahan erosi, penyerap air, pencegah longsor, serta, jika mungkin, memberikan manfaat ekonomi untuk masyarakat sekitar.
Berdasarkan kajian dari berbagai sumber, termasuk tulisan Budiwati dari Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), tanaman yang ideal untuk penutup tanah dan rehabilitasi sebaiknya sejumlah kriteria.
Kriteria tersebut antara lain mudah diperbanyak, memiliki sistem perakaran yang baik untuk mengikat tanah, tidak memerlukan kesuburan tanah tinggi, tumbuh cepat, menghasilkan banyak biomassa, dan tidak berpotensi menjadi gulma invasif.
Rekomendasi tanaman sebaiknya diterapkan secara berlapis, meniru struktur hutan alam:
1. Tanaman Penutup Tanah Strata Rendah
Tanaman ini berfungsi melindungi tanah dari pukulan langsung butir hujan, mengurangi kecepatan aliran permukaan, dan menambah bahan organik tanah.
- Vetiver (Chrysopogon zizanioides): Sangat direkomendasikan untuk stabilisasi lereng jangka pendek dan menengah. Akar vetiver tumbuh vertikal ke dalam tanah (bisa mencapai kedalaman 3-5 meter) seperti "jangkar hidup", yang memperkuat struktur tanah. Vetiver tidak kompetitif karena tidak menghasilkan biji yang mudah tersebar.
- Jenis Lain: Centrosema pubescens (kacang-kacangan penutup tanah), Paspalum dilatatum (rumput Australia), dan Ageratum conyzoides (bandotan).
2. Tanaman Strata Sedang (Perdu)
Tanaman perdu berfungsi memperkuat struktur vegetasi, menahan material yang terbawa dari atas, dan beberapa jenis mampu memfiksasi nitrogen untuk menyuburkan tanah.
- Kaliandra (Calliandra calothyrsus): Cepat tumbuh, perakaran kuat, dan bunganya dapat menjadi sumber pakan lebah madu.
- Gamal (Gliricidia sepium): Sering digunakan dalam sistem tumpangsari, daunnya dapat digunakan sebagai pakan ternak dan pupuk hijau.
- Jenis Lain: Turi (Sesbania grandiflora), Lamtoro (Leucaena leucocephala), dan Orok-orok (Crotalaria juncea).
3. Tanaman Strata Tinggi (Pohon Pelindung)
Pohon-pohon ini berfungsi sebagai penahan angin, penambah biomassa, penyimpan karbon, dan sistem perakarannya dalam berperan penting dalam stabilisasi lereng dan penyerapan air.
- Bambu: Merupakan pilihan yang sangat efektif. Sistem perakaran serabut bambu yang rapat dan rimpangnya yang menyebar membentuk jaring pengikat tanah yang sangat kuat. Bambu juga memiliki pertumbuhan yang cepat, toleran terhadap berbagai kondisi lahan, dan mampu memperbaiki daerah tangkapan air. Spesies yang direkomendasikan antara lain Bambu Apus (Gigantochloa apus), Bambu Betung (Dendrocalamus asper), dan Bambu Wulung (Bambusa vulgaris). Hasilnya dapat dimanfaatkan untuk kerajinan, bahan bangunan, atau rebung.
- Sengon Laut (Albizia falcata): Tumbuh cepat, kayunya bernilai ekonomi, dan dapat digunakan dalam sistem agroforestri.
- Jabon (Neolamarckia cadamba): Pohon pionir yang tumbuh cepat, cocok untuk revegetasi, dan kayunya memiliki nilai pasar.
- Jenis Bernilai Ekonomi Tinggi: Untuk menambah daya tarik bagi masyarakat, dapat dipertimbangkan penanaman pohon buah-buahan seperti Durian (Durio zibethinus), atau jenis kayu pertukangan seperti Meranti (Shorea spp.) pada lokasi yang sesuai.
Mitigasi Bencana dengan Restorasi Ekosistem
Mitigasi bencana banjir dan longsor di Sumatra memerlukan restorasi ekosistem yang strategis. Menggantikan monokultur dengan pola tanam berlapis yang menyerupai hutan merupakan langkah kunci.
Kombinasi antara tanaman penutup tanah (seperti vetiver), tanaman perdu penghasil pakan (seperti kaliandra dan gamal), serta pohon pelindung yang cepat tumbuh dan bernilai ekonomi (seperti bambu dan sengon), dapat mengembalikan fungsi hidrologis lahan sekaligus memberikan manfaat sosial-ekonomi.
Pendekatan ini tidak hanya memulihkan lingkungan tetapi juga membangun ketahanan masyarakat di sekitar kawasan rawan bencana.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News