Pada sebuah kompleks makam yang teduh, Pak Kumet duduk dengan tenang. Sudah 15 tahun dia menjadi juru kunci makam Sunan Kathong, cukup lama untuk menjawab setiap pertanyaan mengenai siapa tokoh yang terbaring di pusara tersebut dan bagaimana jejak langkahnya di Kaliwungu. Pak Kumet duduk bersender pada tiang, dengan sigap menceritakan seperti apa sosok Sunan Kathong dan peranya dalam penyebaran Islam di Kaliwungu.
“Sunan kathong itu asalnya dari jawa timur, termasuk salah satu putra Brawijaya V,” ucap Pak Kumet membuka perbincangan pada Jum'at sore kala itu. Menurut penuturan Pak Kumet, nama Sunan Kathong bukan nama yang beliau sandang sejak lahir. Sunan Kathong berasal dari keluarga kerajaan Majapahit, lahir dengan nama Lembu Kanegoro. Beliau mendapat nama Kathong ketika menjadi adipati Majapahit dan di utus untuk membuka hutan Ponorogo. Dari situ beliau mendapat nama Bathara Kathong yang dibawanya selama sisa hidupnya.
“Beliau lebih dulu dikenal dengan nama Lembu Kanegoro yang kemudian diperintah untuk membuka hutan Ponorogo dan mendapat gelar Bathara Kathong Ponorogo,” jelas Pak Kumet soal siapa itu Sunan Kathong.
Setelah runtuhnya kerajaan Majapahit dan konflik keluarga, takdir membawanya ke lembaran baru. Sunan Kathong melakukan hijrah ke hutan lebat di bawah kekuasaan Mataram Islam, yang nantinya dikenal dengan nama Kaliwungu.
Berbeda dengan kebanyakan literatur soal penamaan Kaliwungu yang diartikan ‘Sungai Ungu’. Pak Kumet memberikan penjelasan lain soal nama kota santri tersebut, “Kaliwungu itu artinya Masa Pembangunan,” jelas Pak Kumet. “Diambil dari bahasa Sanskerta, ‘kali’ itu artinya masa dan ‘wungu’ itu artinya bangun. Jadi Kaliwungu itu maksudnya masa pembangunan bahwa nantinya akan jadi kota,” tambah Pak Kumet.
Pemilihan wilayah ini juga bukan tanpa alasan. Pak Kumet mengatakan kalau Sunan Kathong sebagai orang yang dekat dengan Allah diberikan kelebihan untuk punya sebuah firasat bahwa wilayah hutan tersebut nantinya akan menjadi kota yang makmur.
Sesampainya di Kaliwungu, yang saat itu merupakan hutan perdikan Mataram, Sunan Kathong melakukan pembukaan hutan atau yang bisa disebut ‘Bubak Yoso Kaliwungu’. Sunan Kathong tidak melakukanya sendirian. Beliau datang bersama lima abdi dalem (pengikut dekat) dan adik iparnya Warok Suromenggolo atau biasa dipanggil Pakuwojo.
Wilayah yang pertama dibuka adalah Desa Protomulyo dan menjadi menjadi kediaman dan makam dari ulama sekaliber Walisongo tersebut. Namun sayang sekali hampir tidak ada peninggalan fisik dari Sunan Kathong kecuali satu sendang atau mata air yang sampai saat ini masih digunakan dengan nama Sendang Lupang.
“Yang pertama kali dibuka adalah desa ptoyomulyo dan berdiam di ptoromulyo. Untuk peninggalan Sunan Kathong sendiri tidak ada dalam bentuk bangunan fisik kecuali satu sendang, yaitu sendang lupang yang masih digunakan sampai sekarang,” Jelas Pak Kumet.
Hal yang menarik dari dakwah Sunan Kathong adalah metodenya. Beliau menggunakan pendekatan kebudayaan dan ritual penghormatan leluhur yang di ubah ke arah tauhid. Sunan Kathong sendiri hidup dan aktif berdakwah di era Walisongo.
“Sunan Kathong itu hidup di era Walisongo, era Majapahit yang belum ada pesantren, adanya padepokan,” jelas Pak Kumet. "Sunan Kathong sendiri menyebarkan ajarannya dengan kebudayaan, seperti wayang kulit, tayub atau tari-tarian, singo barong, dan jaran kepang yang disertai ajaran tauhid,” tambah Pak Kumet.
Metode ini terbukti efektif. Dengan menyisipkan nilai-nilai Islam ke dalam kesenian yang sudah dikenal masyarakat, ajaran agama bisa diterima dengan lebih mudah tanpa menimbulkan penolakan.
Di penghujung perbincangan, Pak Kumet memberikan refleksi tentang perbedaan pemeluk Islam di masa lalu dan masa kini.
“Umat Islam sekarang beda dengan zaman dulu. Dulu belajarnya cuma sedikit tapi mereka bisa memahami maknanya mendalam dan mempraktikannya dalam kehidupan. Sekarang orang cuma banyak tahu tapi tak memahami apalagi mempraktikan,” kata Pak Kumet dengan tegas.
Perkataan tersebut seakan menjadi pengingat bahwa saat ini banyak orang cuma belajar teksnya saja tanpa mengerti maknanya apalagi menggunakan ilmu tersebut dalam kehidupan sosial mereka. Saat matahari mulai menghilang dengan awan mendung, Bapak Kumet menyudahi perbincangan dan melanjutkan tugasnya menjaga makam Sunan Kathong.
Lima belas tahun bukanlah waktu yang singkat, ditambah berkurangnya ‘hormat’ generasi muda sekarang dengan tokoh pendakwah akibat isu-isu negatif. Namun Pak Kumet tetap setia menjaga persinggahan terakhir ulama tersebut dan jejak sejarahnya yang telah membuka hutan Kaliwungu dan menjadi tonggak penyebaran Islam di Kaliwungu.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News