Halo Kawan GNFI, siapa sih yang tidak kenal air terjun Curugsewu? Sudah sejak lama Curug Sewu dikenal sebagai salah satu destinasi wisata alam paling memukau di Jawa Tengah. Air terjunnya yang tinggi, lanskap pegunungan yang sejuk, serta suasana alami yang masih terjaga menjadi daya tarik utama bagi para pengunjung.
Namun di balik pesonanya sebagai objek wisata, Curug Sewu menyimpan kisah budaya yang menarik. Sebuah tradisi turun-temurun yang hidup melalui ritual, paguyuban budaya, dan kearifan lokal masyarakat sekitar.
Sebelum dikenal sebagai Curug Sewu, warga tua menyebut kawasan ini dengan nama Munthuk Jambe. Nama itu diwariskan dari para sesepuh dan menjadi identitas spiritual masyarakat sekitar.
Meski kemudian istilah Curug Sewu menjadi lebih populer akibat perubahan administratif, sebutan Munthuk Jambe tetap melekat dalam hati warga yang masih memegang warisan leluhur.
Menurut penuturan Mbah Tanpo Aran, salah satu penjaga tradisi, Munthuk Jambe bukan sekadar nama lama. Ia adalah simbol cara leluhur membaca alam, air terjun sebagai penjaga kehidupan, hutan sebagai ruang spiritual, dan aliran sungai sebagai perjalanan waktu.
Nama itu adalah memori kolektif yang menandai tempat ini sebagai ruang hidup, bukan hanya objek wisata.
Keberlanjutan kehidupan budaya di Curugsewu tidak lepas dari peran KOLEPRA (Komunitas Lereng Prau). Paguyuban ini berisi seniman, budayawan, pemerhati sejarah, penggiat alam, hingga pelaku UMKM yang bersatu untuk menjaga dan menghidupkan kembali nilai-nilai Nusantara.
Komunitas ini menjadi jembatan antara generasi tua dan generasi muda, menghadirkan ruang belajar lintas usia yang penuh penghormatan.
Melalui beragam ritual dan kegiatan budaya, tradisi yang diwariskan leluhur terus dijaga, dirawat, dan diperbarui. Koordinasi antara para sesepuh dan generasi muda membuat kearifan lokal tidak hanya dilestarikan, tetapi juga tetap relevan di tengah perubahan zaman.
Salah satu ritual yang digelar adalah prosesi penyatuan air. Air dari berbagai mata air baik yang berada di pegunungan, pedesaan, hingga sumber-sumber tua yang dijaga secara turun-temurun dibawa dalam kendi tanah liat oleh para kasepuhan. Setiap tetes air membawa cerita tentang tanah dan manusia yang merawatnya.
Ketika semua air itu dituangkan ke dalam satu wadah sakral, terbentuklah simbol kebersamaan yang kuat. Air yang datang dari tempat berbeda dapat menyatu tanpa kehilangan jati dirinya.
Ritual ini mengingatkan bahwa keberagaman yang hadir di antara manusia bukan pemisah, melainkan kekayaan.
Dalam filosofi Jawa, air adalah sumber kehidupan, lambang kesucian, dan energi yang mengalir. Penyatuan air pun menjadi doa agar manusia tetap selaras dengan satu sama lain dan dengan alam.
Setelah prosesi penyatuan air, perjalanan berlanjut melalui kirab budaya dari pendopo menuju Pertapaan Bolodewo. Wadah sakral berisi air tersebut dibawa sambil menyusuri jalur menanjak yang berliku.
Setiap langkah tidak hanya melalui alam, tetapi juga membawa kesan filosofis bahwa kehidupan tidak selalu mulus, melainkan selalu bermakna ketika dijalani dengan ketulusan. Saat tiba di pertapaan, suasana berubah menjadi sunyi dan khusyuk.
Para sesepuh memimpin doa, menghadirkan hubungan batin antara manusia, leluhur, dan alam. Momen ini menciptakan getaran spiritual yang sulit dilupakan.
Rangkaian ritual kemudian ditutup dengan tradisi dahar sesarengan atau makan bersama. Hidangan yang tersaji sederhana, namun memiliki makna yang mendalam. Bagi masyarakat Jawa, makan bersama bukan sekadar aktivitas, tetapi wujud persatuan.
Semua duduk dalam satu lingkaran, berbagi makanan tanpa sekat usia maupun latar belakang. Kebersamaan itu menjadi cermin bahwa manusia pada dasarnya adalah saudara, apa pun perjalanannya.
Melihat lebih dalam, Curug Sewu bukan hanya air terjun yang indah. Ia adalah ruang budaya yang hidup tempat di mana tradisi bertemu dengan alam, dan sejarah bertemu dengan spiritualitas.
Di sini, setiap gemercik air membawa pesan lama, setiap setapak menyimpan cerita, dan setiap ritual menjaga agar napas leluhur tidak pernah padam. Curug Sewu mengajarkan bahwa wisata bukan hanya soal pemandangan. Ia adalah tentang memahami hubungan manusia dengan tradisi, alam, dan akar sejarahnya.
Selama kisah-kisah itu terus dirawat, Curugsewu akan selalu menjadi lebih dari sekadar destinasi, ia adalah pengalaman yang menghubungkan masa lalu, masa kini, dan masa depan dalam satu aliran yang tidak pernah berhenti.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News