Farras Ulinnuha menjadi lulusan termuda dalam wisuda Universitas Gadjah Mada (UGM) yang digelar pada Kamis (27/11/2025). Usianya baru 19 tahun 8 bulan 17 hari, tapi ia yang merupakan angkatan 2021 telah resmi lulus dari Program Studi S1 Kedokteran kelas International Undergraduate Program (IUP).
Padahal, usia rata-rata dari 1.729 lulusan program sarjana UGM, adalah 22 tahun 6 bulan 15 hari.
Sebenarnya, Farras tidak tiba-tiba menjadi wisudawan termuda. Ritme belajarnya sudah mengalami percepatan sejak awal masuk sekolah. Ia mulai masuk Sekolah Dasar pada usia 4,5 tahun. Sedangkan, umumnya usia normal untuk memasuki sekolah jenjang SD adalah 7 tahun. Di masa itu, kebijakan akselerasi masih dibuka oleh dinas pendidikan.
Akselerasi adalah program percepatan belajar. Siswa dengan kemampuan akademik tertentu dapat menempuh jenjang pendidikan dalam waktu lebih singkat tanpa mengurangi kurikulum inti.
Farras bahkan mengikuti ujian nasional masuk SMP saat masih duduk di kelas 5 SD. Kesempatan itu diambilnya.
“Saya masuk SD masuk umur 4,5 tahun, berlanjut ke SMP 3 tahun, dan kemudian saat SMA saya hanya menyelesaikan 2 tahun,” ujar Farras, dikutip dari Detik.com.
Artinya, tiga jenjang pendidikan dasar dan menengah ia tempuh lebih cepat dari jalur umum.
Masuk Fakultas Kedokteran di Usia 16 Tahun
Farras sudah resmi menjadi mahasiswa Fakultas Kedokteran UGM saat sebagian besar teman sebayanya masih berseragam SMA. Usianya memang baru 16 tahun saat itu. Akan tetapi, dengan segala tantangan dan kemampuan yang ada, Farras bisa mengikuti dan beradaptasi.
Ia mampu menyesuaikan diri dengan budaya belajar yang berbeda dan lingkungan sosial yang mayoritas berusia lebih tua darinya.
“Di awal kuliah, penyesuaian berjalan tidak selalu mulus, tetapi perlahan saya menemukan ritme yang tepat,” kenangnya, sebagaimana dikutip dari laman resmi UGM.
Lingkungan Fakultas Kedokteran UGM, menurut Farras, cukup inklusif. Ini penting bagi mahasiswa muda, mengingat tekanan akademik di pendidikan kedokteran dikenal tinggi.
Farras mengambil jalur International Undergraduate Program (IUP). Program ini menggunakan pengantar bahasa Inggris, dengan kurikulum yang dirancang agar lulusannya siap bersaing di level global. Mahasiswa tetap mempelajari kurikulum nasional kedokteran, tetapi dengan pendekatan internasional.
Pilihan ini membuat tantangan akademiknya berlapis. Bukan hanya materi medis, tetapi juga kemampuan bahasa dan adaptasi sistem belajar.
Padatnya kuliah preklinik tidak membuat Farras hanya fokus pada pendidikan. Farras tetap aktif berorganisasi. Ia bergabung dengan Asian Medical Students Association (AMSA) dan Center for Indonesian Medical Students Activities (CIMSA). Dua organisasi ini dikenal memberi ruang diskusi kesehatan global, advokasi, dan pengabdian masyarakat.
Ketertarikan yang Tumbuh dari Keluarga
Minat Farras pada dunia medis tumbuh seiring dengan aktivitas keluarganya. Sejak kecil, ia kerap menemani ibunya bekerja di rumah sakit dan membantu di klinik keluarga. Pengalaman itu membuat dunia kedokteran terasa akrab baginya.
Farras mengikuti jejak keluarganya dengan misi yang mulia. Ia ingin kembali ke Lampung, daerah asalnya, dan mengabdi di sana setelah menempuh pendidikan profesi dokter.
“Jadi dari dulu saya sudah familiar dengan dunia kedokteran. Saat tahu UGM, saya pikir saya bisa belajar di sana dan ingin jadi dokter agar tingkat layanan kesehatan di Indonesia bisa lebih merata,” katanya.
Meski menyandang predikat wisudawan termuda, Farras tidak menempatkan kecepatan sebagai ukuran utama keberhasilan. Ia justru menekankan proses dan konsistensi.
“Semangat. Dulu aku juga sempat desperate, tapi sekarang Alhamdulillah bisa lulus. Intinya semua orang punya timeline-nya masing-masing, jadi tetap semangat dan lakukan yang terbaik,” kata Farras.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News