Sejak PSSI rajin mendatangkan pemain diaspora dari Eropa, Timnas Indonesia mendapat suntikan beberapa pemain berkualitas. Pemain-pemain seperti Calvin Verdonk (Lille) dan Dean James (Go Ahead Eagles) bahkan tercatat bermain juga di Liga Europa, kompetisi antarklub Eropa level dua, persis setingkat di belakang Liga Champions yang gemerlap.
Selain mereka, ada juga Jay Idzes (Sassuolo, Italia) dan Kevin Diks (Gladbach, Jerman) yang sudah merasakan kerasnya kompetisi Serie A Italia dan Bundesliga Jerman, dua liga yang rutin berada di posisi empat besar peringkat UEFA. Keduanya bahkan tampil reguler di klub masing-masing, dengan ikatan kontrak jangka panjang.
Di antara banyak pemain diaspora yang bergabung dengan Timnas Indonesia, terselip satu profil menarik dalam diri Justin Hubner.
Bek yang sempat memperkuat Timnas Belanda di level U-20 ini banting setir membela Timnas Indonesia sejak level U-23, dan berlanjut ke level senior.
Bersama Timnas U-23, semifinal Piala Asia U-23 dan babak akhir kualifikasi Olimpiade 2024 mampu dicapai. Ketika naik ke Timnas senior, bek berpostur tinggi besar ini membentuk trio solid dalam formasi dasar tiga bek tengah, bersama Rizky Ridho dan Jay Idzes.
Di level klub, pemain bernama lengkap Justin Quincy Hubner ini juga punya rekam jejak lumayan oke, untuk ukuran pemain Indonesia. mampu bersaing di Eropa. Di level junior, jebolan akademi FC Den Bosch (Belanda) ini sempat menimba ilmu juga di akademi Wolverhampton Wanderers (Inggris).
Ketika naik kelas ke level senior, pengalaman singkat bersama Cerezo Osaka (Jepang) membawanya ke Fortuna Sittard pada musim panas 2005. Bersama klub Eredivisie Belanda ini, Hubner diikat kontrak selama tiga tahun, plus opsi perpanjangan kontrak satu tahun.
Meski bukan tim besar, klub yang juga sempat dibela Ragnar Oratmangoen menghadirkan satu kesempatan menarik, karena sang pemain langsung dilibatkan di tim utama, bahkan mendapat kesempatan tampil di kompetisi level tertinggi salah satu liga langganan posisi 10 besar Eropa.
Bisa dibilang, kemampuan pemain blasteran Indonesia-Belanda ini dianggap bisa bersaing di Eredivisie Belanda.
Pemain berjuluk El Preman ini juga melengkapi kemampuan itu, dengan mental yang sudah teruji sejak level junior. Berkat kelebihan ini, ia tak ragu menampilkan gaya main cenderung keras, lengkap dengan nyali besar untuk berjuang semaksimal mungkin di lapangan hijau.
Masalahnya, di balik kekuatan itu, terdapat juga satu kelemahan mendasar. Talenta yang dimilikinya masih cukup mentah, karena belum didukung pemahaman taktis yang memadai.
Terbukti, dari 10 penampilan bersama Fortuna Sittard di Eredivisie, Hubner sudah mendapat 4 kartu kuning dan 1 kartu merah langsung. Kartu merah pertamanya didapat, dalam laga melawan Ajax Amsterdam, Sabtu (6/12) lalu, setelah kedapatan melakukan tekel dua kaki kepada Rayane Bounida.
Dalam laga ini, pemain yang juga bisa bermain di posisi gelandang jangkar ini tampil di awal babak kedua sebagai pemain pengganti, dan hanya bermain selama delapan menit, sampai kartu merah didapat. Alhasil, Fortuna Sittard kalah 1-3, dan sang pemain mendapat skorsing tiga pertandingan.
Dari segi gaya main, Jussa diketahui banyak mendapat inspirasi dari sosok Sergio Ramos, yang terkenal dengan gaya main keras menjurus kasar. Hanya saja, bek kelahiran tahun 1986 itu juga dikenal punya kemampuan individu dan kecerdasan taktis di atas rata-rata.
Jadi, ia mampu membaca dan bertindak sesuai situasi. Ada saatnya bermain keras, ada saatnya memberi komando, dan ada saatnya juga bermain taktis. Meski terbilang sering mendapat kartu merah, eks pemain Real Madrid dan PSG ini tetap dapat diandalkan. Terbukti, beragam prestasi di level klub dan tim nasional Spanyol mampu diraihnya.
Kembali ke Hubner, pengalaman mendapat kartu merah pertama di Eredivisie Belanda seharusnya dapat menjadi satu momentum perbaikan. Selama ini, ia sudah menunjukkan keberanian dan kekuatan yang kadang tanpa kompromi. Kini, ada kesempatan mengembangkan aspek taktis lebih jauh, supaya talentanya dapat berkembang lebih jauh.
Jika kesempatan ini mampu dimanfaatkan dengan baik, rasanya kita akan segera melihat bek dengan kualitas dan kematangan seperti Jay Idzes di Timnas Indonesia, lengkap dengan level performa yang cukup kompetitif, untuk bersaing di kompetisi level atas Eropa.
Meski kelihatannya rumit, dari Hubner, kita dapat melihat bersama, bertahan bukan sebatas urusan okol atau nyali sesaat.
Ini adalah sebuah perpaduan seimbang antara akal dan okol, menjadi satu keindahan. Harmoni inilah, yang membuat bertahan kerap dilihat seperti sebuah seni dalam sepak bola, seperti halnya aksi-aksi individu aduhai dari para pemain dari lini serang.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News