pemimpin tanpa kapasitas - News | Good News From Indonesia 2025

Pemimpin Tanpa Kapasitas, Dunia Butuh Pemimpin yang Berintegritas

Pemimpin Tanpa Kapasitas, Dunia Butuh Pemimpin yang Berintegritas
images info

Pemimpin Tanpa Kapasitas, Dunia Butuh Pemimpin yang Berintegritas


Di berbagai ruang organisasi kampus, selalu ada sosok yang dengan penuh keyakinan menyebut dirinya sebagai pemimpin, padahal perilakunya jauh dari standar kepemimpinan yang sehat.

Mereka bukan hanya belum layak memimpin, tetapi juga memaksakan diri untuk berada di depan, seakan peran itu adalah hak istimewa yang tidak dapat diganggu-gugat.

Fenomena ini semakin sering muncul, terutama ketika organisasi mahasiswa menjadi ruang aktualisasi yang salah arah: bukan tempat menempa karakter, tetapi tempat mengumpulkan gengsi.

Kritik tajam terhadap tipe mahasiswa seperti ini bukanlah upaya menjatuhkan siapa pun, melainkan peringatan agar budaya kepemimpinan tidak berubah menjadi sekadar panggung ambisi pribadi.

baca juga

Mahasiswa yang tidak pantas memimpin namun memaksakan diri biasanya memiliki satu kesamaan mendasar: ketidakdewasaan yang dibungkus dengan retorika keberanian. Mereka lihai berbicara tentang perjuangan, perubahan, dan keberpihakan pada mahasiswa, tetapi kemampuan manajerial, empati, serta tanggung jawabnya sangat minim.

Inilah tipe yang giat membangun citra, tetapi malas membangun kapasitas. Mereka menyebut dirinya “agent of change”, tetapi tidak mampu mengubah cara mereka sendiri bekerja dan bersikap.

Salah satu ciri utama mahasiswa yang memaksakan diri menjadi pemimpin adalah 'ketidakmampuan mendengar'. Ia berbicara panjang, sok paling tahu, dan selalu merasa pendapatnya yang paling benar. Setiap masukan dianggap kritik yang mengancam, bukan bahan untuk memperbaiki diri.

Dalam rapat, ia mendominasi pembicaraan, tetapi ketika dimintai laporan kinerja, ia menghilang. Ketika program gagal, ia menyalahkan anggota; ketika berhasil, ia mengambil seluruh kredit.

Inilah kepemimpinan yang cacat sejak akar: pemimpin yang menolak belajar adalah pemimpin yang membawa organisasinya pada stagnasi.

Ketika mahasiswa tipe ini memegang kekuasaan dalam organisasi, budaya internal organisasi pun menjadi rusak. Ruang rapat berubah menjadi ruang pamer ego. Anggota diperlakukan sebagai bawahan, bukan sebagai mitra.

baca juga

Keputusan diambil secara sepihak demi menjaga wibawa semu, bukan melalui musyawarah yang sehat. Mereka kerap menghindari transparansi, enggan membuka laporan anggaran, atau menunda-nunda pertanggungjawaban dengan alasan yang dibuat-buat. Kepemimpinan yang seharusnya menjadi praktik demokrasi justru berubah menjadi praktik feodal kecil-kecilan.

Lebih jauh lagi, mahasiswa semacam ini sering menganggap bahwa popularitas lebih penting daripada kompetensi. Padahal organisasi bukan panggung pencitraan. Organisasi adalah institusi pembelajaran yang membutuhkan komitmen, kerja keras, dan tanggung jawab.

Masalah berikutnya adalah 'ketidakmampuan mengelola konflik'. Pemimpin palsu ini kerap merespons kritik dengan defensif, emosional, bahkan menyerang balik. Ketika ada perbedaan pendapat, mereka bukan mencari solusi, tetapi mencari siapa yang dapat dijadikan musuh.

Alih-alih memediasi konflik, mereka justru memperkeruh suasana dengan ketidakmatangan emosional. Padahal pemimpin sejati justru teruji ketika menghadapi perbedaan.

Mahasiswa yang memaksakan diri memimpin tanpa kapasitas biasanya rapuh menerima kenyataan bahwa tidak semua orang akan setuju dengannya.

Fenomena pemimpin yang memaksakan diri tanpa kapasitas juga muncul karena lingkungan kampus terkadang membiarkan hal ini terjadi. Banyak anggota organisasi yang tidak berani bersuara, entah karena takut konflik atau merasa lebih mudah membiarkan pemimpin itu menjalankan semuanya walau buruk.

baca juga

Budaya “yang penting ada ketua” membuat standar kepemimpinan jatuh hingga serendah-rendahnya. Seharusnya mahasiswa sebagai kaum terdidik berani menolak pemimpin yang tidak layak, bukan justru memberi ruang bagi mereka untuk merusak kultur organisasi.

Kritik ini penting karena organisasi mahasiswa adalah miniatur masyarakat. Jika budaya buruk ini terus dibiarkan, maka kelak kampus melahirkan generasi pemimpin yang penuh ambisi, tetapi kosong kapasitas.

Dunia nyata tidak membutuhkan pemimpin yang emosional, antikritik, dan hanya peduli pada citra. Dunia membutuhkan pemimpin yang mampu bekerja, berkolaborasi, dan mempertanggungjawabkan amanah.

Maka, mahasiswa yang memaksakan diri menjadi pemimpin tanpa kapasitas bukan hanya merugikan organisasi kampus, tetapi juga membahayakan masa depan kualitas kepemimpinan bangsa.

Akhirnya, mahasiswa yang belum pantas memimpin seharusnya belajar terlebih dahulu, bukan menuntut untuk berada di atas. Kepemimpinan bukan soal siapa paling vokal, paling populer, atau paling banyak foto publikasi.

Kepemimpinan adalah proses panjang yang menuntut kerendahan hati, integritas, kemampuan bekerja sama, dan kesediaan mempertanggungjawabkan keputusan.

Bila seorang mahasiswa tidak mampu memenuhi standar dasar ini, maka memaksakan diri menjadi pemimpin hanya akan menjadikan dirinya contoh buruk dan merusak organisasi yang ia pimpin. Pemimpin sejati lahir dari proses, bukan klaim.

Mereka yang memaksakan diri memimpin tanpa kapasitas, cepat atau lambat, akan tumbang oleh ketidakmampuan mereka sendiri.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

MZ
KG
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.