Bayangkan ada sebuah hutan yang tidak dijaga pagar besi atau CCTV, tetapi tetap aman dari penebangan dan perusakan karena “dijaga” oleh mitos. Di beberapa wilayah Indonesia, hutan larangan adat masih bertahan berkat kepercayaan dan cerita turun-temurun yang hidup di tengah masyarakat.
Masyarakat di sekitar Alas Purwo, Banyuwangi, maupun Hutan Larangan Pasarean di Ciamis, misalnya, masih memegang teguh aturan adat yang melarang aktivitas tertentu sebagai bagian dari kearifan lokal untuk menjaga ekosistem hutan.
Kepercayaan terhadap sosok gaib memberi dimensi sakral pada hutan: orang menjadi enggan menebang pohon sembarangan, berburu satwa, atau memasuki area tertentu tanpa alasan yang jelas. Tanpa disadari, mitos tersebut berfungsi sebagai “rambu tak tertulis” yang melindungi alam.
Di Hutan Pasarean Ciamis, masyarakat percaya pada sosok Maung, harimau gaib penjaga hutan larangan. Siapa pun yang mengambil kayu atau merusak hutan tanpa izin dipercaya akan “didatangi” Maung, sehingga warga memilih menahan diri dan menghormati kelestarian hutan.
Di Alas Purwo Banyuwangi, beredar mitos tentang kerajaan jin dan sosok-sosok gaib yang mendiami kawasan hutan, termasuk di sekitar Gua Istana dan Situs Kawitan. Area ini diyakini memiliki kekuatan spiritual sehingga orang yang mengambil benda sakral atau merusak hutan dapat mengalami kejadian mistis.
Kepatuhan terhadap adat bukan hanya soal takut pada konsekuensi gaib, tetapi juga karena masyarakat memahami bahwa aturan tersebut menyimpan nilai keberlanjutan. Kearifan lokal ini menciptakan kontrol sosial tanpa regulasi formal dan menjadikan hutan larangan sebagai ruang aman bagi flora dan fauna endemik.
Di sini terlihat jelas, mitos bukan sekadar cerita menakut-nakuti, melainkan mekanisme ekologis yang nyata.
Masalahnya, dunia sedang berubah cepat, begitu juga cara pandang generasi muda. Generasi Z yang tumbuh bersama internet, media sosial, dan banjir informasi global cenderung mengedepankan logika modern dan penjelasan ilmiah.
Beberapa kajian tentang peran Gen Z dalam melestarikan budaya lokal menunjukkan bahwa generasi ini punya potensi besar sebagai penerus tradisi, tetapi juga berada dalam tekanan gaya hidup modern yang membuat budaya lokal tampak kurang relevan.
Banyak bentuk kearifan lokal yang mulai ditinggalkan karena dianggap ketinggalan zaman atau tidak sejalan dengan pola pikir rasional. Akibatnya, fungsi sosial dan ekologis mitos yang dahulu efektif kian melemah.
Di titik inilah muncul kebutuhan mendesak untuk mencari strategi baru agar kearifan lokal tetap hidup tanpa harus bertentangan dengan cara berpikir Gen Z.
Berbagai komunitas dan lembaga kemudian mencoba menjembatani jurang antara tradisi dan modernitas. Mitos dan ritual yang dulu hanya diceritakan secara lisan mulai dikemas dalam bentuk konten digital, dokumenter pendek, hingga kampanye kreatif di media sosial.
Cara ini lebih mudah menjangkau Gen Z yang sudah terbiasa mengonsumsi informasi melalui gawai. Sejumlah kajian tentang mitos di era digital juga menunjukkan bahwa strategi transmedia menghadirkan satu cerita di berbagai platform, dari video, artikel, hingga komik digital dapat membantu menyampaikan pesan konservasi berbasis budaya.
Dengan pendekatan seperti ini, mitos tidak lagi dipandang sebagai kisah kuno yang jauh dari realitas, tetapi sebagai narasi hidup yang bisa menginspirasi aksi nyata, seperti gerakan bersih-bersih hutan, kampanye pelarangan perburuan, atau penggalangan dukungan untuk kawasan konservasi.
Tetap saja, tantangannya tidak sedikit. Skeptisisme Gen Z terhadap hal gaib dan tabu membuat mereka cenderung mempertanyakan bahkan meragukan mitos, terutama jika tidak disertai penjelasan rasional.
Dominasi budaya global melalui film, musik, dan tren internet juga sering membuat nilai lokal tersisih dan dianggap “kurang keren”.
Di sisi lain, banyak generasi muda yang belum diajak memahami filosofi di balik kearifan lokal, sehingga mitos hanya terlihat sebagai larangan tanpa makna. Agar tetap relevan, mitos dan kearifan lokal perlu di-kontekstualkan ulang dijelaskan kembali dengan bahasa yang dekat dengan kehidupan Gen Z, serta didukung instrumen modern seperti kampanye digital, program edukasi lingkungan di sekolah dan kampus, sampai teknologi pemantauan hutan yang terbuka datanya untuk publik.
Untuk itu, sebuah model integratif dapat digunakan untuk menghubungkan mitos atau kearifan lokal dengan tantangan dan peluang di era modern serta menempatkan Gen Z sebagai aktor utama konservasi.
Dalam model ini, kepercayaan tradisional berfungsi sebagai sumber nilai budaya dan panduan etis dalam memperlakukan lingkungan, sementara Gen Z berperan sebagai jembatan yang menerjemahkan nilai-nilai tersebut ke dalam bahasa konten, gerakan komunitas, dan inovasi digital.
Sistem modern mulai dari kebijakan lingkungan, teknologi pemantauan, hingga edukasi berbasis platform digital menjadi infrastruktur yang memperkuat upaya pelestarian. Keberhasilan model ini bisa dilihat dari meningkatnya partisipasi masyarakat dan terjaganya kualitas ekosistem hutan larangan.
Pada akhirnya, mitos tidak perlu dihapus, tetapi justru diolah dan dikemas ulang agar relevan bagi Gen Z, sekaligus didukung oleh sistem modern. Dengan begitu, cerita tentang Maung penjaga hutan dan kerajaan gaib di Alas Purwo tidak berhenti sebagai legenda, melainkan menjadi energi yang menggerakkan generasi muda untuk menjaga hutan hari ini dan di masa depan.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News


