klub bola voli sawunggaling kebijakan sekolah dasar - News | Good News From Indonesia 2025

Potret Klub Voli Desa Carangrejo, Ketika Lapangan Tak Lagi Temukan Pemainnya

Potret Klub Voli Desa Carangrejo, Ketika Lapangan Tak Lagi Temukan Pemainnya
images info

Potret Klub Voli Desa Carangrejo, Ketika Lapangan Tak Lagi Temukan Pemainnya


Klub Voli Sawunggaling, begitu nama yang diberikan oleh Abdul. Sebuah klub kecil di desa yang warganya gemar bermain bola voli setiap sore. Sawunggaling bukan sekadar nama. Ia tumbuh menjadi kegiatan rutin setelah warga pulang dari sawah, menjadi ruang perjumpaan yang mempertemukan tawa, keringat, dan cerita.

Dari sejumlah warga, ada seorang pemuda bernama Abdul yang memulai kegiatan ini pada tahun 1980. Lulusan SMA dari kota P itu menjadi inisiator yang melihat potensi kebersamaan di desa. Lapangan sekolah dasar menjadi tempat latihan pertama.

Tanahnya masih gembur, tiang bambunya berdiri miring, dan net yang sering sobek karena dipakai terlalu sering.

Namun dari lapangan sederhana itu, warga berdatangan, berbincang, berlatih, dan ikut pertandingan kecil. Bagi mereka, bermain voli adalah cara paling menyenangkan untuk menghabiskan sore.

Melihat bagaimana klub ini lahir dari inisiatif seorang pemuda, saya ingin mengetahui apakah semangat itu masih bertahan. Pada suatu pagi yang tenang, saya datang ke desa Carangrejo.

Udara masih segar dan suara ayam kampung mengisi ruang di antara rumah-rumah kayu. Di depan sebuah rumah sederhana, Abdul dan rekannya, Munim, sudah menunggu. Ketika saya bertanya tentang kondisi klub, Abdul menarik napas panjang.

baca juga

“Anak-anak bisa voli, tapi tidak mau ikut. Sudah dipanggil ke rumah, tetap tidak mau,” ujarnya pelan.

Kalimat itu seperti ringkasan perubahan sosial yang terjadi di desa. Remaja kini memiliki banyak pilihan hiburan. Ponsel, gim daring, pekerjaan sambilan, serta budaya nongkrong membuat lapangan yang dulu ramai perlahan menjadi sunyi.

Hampir tidak ada lagi sosok yang mereka jadikan panutan di lapangan. Regenerasi terhenti. Energi yang dahulu membuat Sawunggaling hidup kini mengecil dari hari ke hari.

Modernitas dan Ruang Sosial yang Menghilang

Perubahan ini menunjukkan bagaimana modernitas menggeser ruang-ruang sosial yang dulu menjadi bagian penting dari kehidupan desa. Lapangan yang dahulu menjadi titik perjumpaan, tempat warga saling mengenal dan saling percaya, kini kalah oleh layar kecil yang menyita perhatian.

Dalam budaya digital, manusia seolah terhubung ke mana-mana, tetapi perlahan menjauh dari lingkungan terdekatnya.

Selain minat remaja yang berubah, ada satu hal lain yang memperberat keadaan. Pihak sekolah dasar tidak mengizinkan muridnya ikut latihan klub selama mereka masih berstatus pelajar. Larangan itu membuat anak-anak kehilangan kesempatan mengenal lapangan sejak kecil.

Mereka tidak sempat belajar ritme permainan, kebiasaan latihan, atau rasa kebersamaan yang biasanya tumbuh dari bermain bersama warga. Jalur pembinaan pun tersendat sejak awal. Abdul mengingat ucapan kepala sekolah di desa itu.

“Ini anak kelahiran 2012 di desa ini tidak ada. Naliko SD ora oleh melu. Nek wis lulus terserah (Ketika masih SD tidak boleh ikut. Kalau sudah lulus, terserah),” katanya, menirukan aturan yang membatasi siswa SD mengikuti kegiatan klub.

Akibatnya, pemain muda menurun drastis dan klub kehilangan generasi penerus yang seharusnya muncul secara alami.

baca juga

Filosofi Regenerasi dan Ruang Pembinaan

Dalam tradisi komunitas, regenerasi bukan sekadar mencari pemain baru, tetapi menanamkan nilai yang bertahan lintas generasi. Ketika kebijakan menutup ruang pembinaan sejak dini, yang hilang bukan sekadar kesempatan belajar teknik dasar, tetapi juga kesempatan menumbuhkan rasa memiliki terhadap klub. Anak yang tidak tumbuh bersama lapangan akan sulit memahami makna lapangan saat dewasa.

Di sisi lain, kondisi fisik lapangan juga tak lagi mendukung. Sawunggaling memang masih ada, tetapi semangat mengelola lapangan menurun seiring berkurangnya pemain.

Lapangan yang dulu penuh jejak kaki kini lebih sering ditinggalkan angin. Pagi itu, semua perubahan itu tampak jelas di depan mata.

Jika dilihat dari sudut pandang sekolah, sebagian institusi memang menerapkan pembatasan aktivitas luar kelas untuk menjaga fokus belajar siswa. Mereka menganggap karakter dapat dibentuk melalui kegiatan internal sekolah. Namun, situasi Sawunggaling berbeda.

Desa ini tidak memiliki banyak pilihan aktivitas fisik lain. Larangan tersebut justru menutup satu-satunya ruang yang memungkinkan anak belajar disiplin, kerja sama, dan sportivitas.

Dalam percakapan itu, saya mulai menangkap sesuatu. Sejarah bola voli di desa ini ternyata bukan hanya tentang pertandingan. Ia adalah cerita tentang nilai-nilai yang tumbuh dari waktu ke waktu.

Permainan sebagai Cermin Kehidupan

Dalam olahraga, seseorang belajar banyak hal: bagaimana bola yang datang tak terduga mengajarkan kesiapan, bagaimana kerja sama menumbuhkan kepercayaan, dan bagaimana kekalahan mengajarkan kerendahan hati.

Olahraga bukan sekadar aktivitas fisik; ia adalah cermin kecil kehidupan yang mengajarkan ritme, keseimbangan, dan batas diri.

Abdul masih mengingat masa ketika Sawunggaling sering membawa pulang piala. Ia menyebut kemenangan di sebuah turnamen sekitar tahun 2005, diikuti prestasi lain di desa-desa tetangga.

Lapangan desa menjadi ruang sosial tempat warga berkumpul dan tempat remaja belajar bekerja sama melalui latihan maupun kompetisi kecil.

Namun kenangan itu justru menegaskan jurang yang kini terbentang. Prestasi masa lalu menunjukkan betapa besar perubahan yang terjadi. Semangat pemain melemah, regenerasi tersendat, dan aturan sekolah menutup jalan pembinaan sejak dini.

baca juga

Identitas Kolektif yang Mulai Runtuh

Prestasi masa lalu bukan hanya deretan piala atau foto kemenangan yang dipajang di balai desa. Ia adalah bagian dari identitas kolektif—jangkar memori yang membuat warga merasa menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar. Ketika klub melemah, yang goyah tidak hanya kemampuan atletiknya, tetapi juga rasa bangga yang selama ini mengikat warga satu sama lain.

Pertanyaan pun muncul: mampukah Sawunggaling tetap bertahan, atau hanya akan menjadi cerita masa lalu? Dua faktor tampak menentukan arah ke depan: perubahan perilaku remaja dan kebijakan sekolah yang membatasi keterlibatan mereka. Ini bukan hanya ancaman bagi Sawunggaling, tetapi juga bagi banyak klub kecil lain di berbagai desa.

Sebelum saya pulang, pelatih berkata lirih,
“Kalau tidak ada yang meneruskan, nanti Sawunggaling tinggal cerita.”

Warisan Sosial yang Memudar Perlahan

Setiap komunitas memiliki warisan yang tidak selalu tampak dalam bentuk fisik. Ada warisan yang hidup dalam kebiasaan, tawa, keringat, dan kebersamaan yang berulang setiap sore di lapangan.

Bila warisan itu tidak diteruskan, ia tidak hilang sekaligus, tetapi memudar perlahan. Tradisi bertahan bukan hanya karena semangat pendirinya, tetapi karena generasi berikutnya ingin menjaganya.

Untuk meneruskan warisan itu, dialog antara sekolah, orang tua, dan klub menjadi kebutuhan mendesak. Setiap pihak perlu melihat bahwa pembinaan anak tidak hanya berlangsung di ruang kelas, tetapi juga di ruang sosial yang membentuk karakter mereka.

Tanggung Jawab Komunitas

Sebuah komunitas hanya tumbuh ketika setiap pihak merasa terlibat. Tradisi olahraga tidak pernah berdiri sendiri; ia bergantung pada jalinan kepercayaan antara keluarga, lembaga pendidikan, dan warga. Ketika kolaborasi itu hadir, lapangan bukan hanya kembali hidup, tetapi menjadi ruang tempat identitas desa terus diperbarui.

Sawunggaling mungkin sedang meredup, tetapi nyala kecil itu tidak harus padam. Dengan pembinaan yang terbuka, kebijakan yang bijaksana, dan keterlibatan masyarakat, lapangan yang sepi itu bisa kembali menemukan pemainnya.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

KR
KG
Tim Editorarrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.