Banjir dan longsor yang terjadi di berbagai wilayah Sumatra pada akhir 2025 mengubah masa yang seharusnya indah dan tenang untuk merayakan natal dan tahun baru, berubah menjadi masa yang penuh tantangan.
Hujan ekstrem mengguyur Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat pada akhir November 2025 yang memicu banjir bandang dan tanah longsor.
BNPB mencatat bencana ini menelan lebih dari 1.000 korban jiwa, ratusan dilaporkan hilang. Lebih dari 880 ribu warga terpaksa mengungsi, menjadikannya salah satu bencana paling memukul dalam satu dekade terakhir.
Total ribuan infrastruktur seperti rumah warga dan fasilitas layanan seperti sekolah, rumah ibadah, dan fasilitas kesehatan rusak hanya dalam beberapa hari.
Siapa yang akan menyangka jika ini bukan sekadar bencana alam saja, tetapi juga tentang bencana sistem pelayanan publik?
Pemerintah Pusat merespons dengan mengirimkan bantuan logistik dalam jumlah signifikan. Badan penanggulangan bencana menyalurkan lebih dari 10 ton bantuan melalui jalur udara dan laut.
Kehadiran Presiden di lokasi bencana juga menjadi bagian dari respons yang penting. Presiden Prabowo meninjau daerah terdampak sebagai sinyal bahwa situasi di Sumatra menjadi perhatian serius pemerintah pusat.
Dari sisi komunikasi politik, hal ini menunjukkan adanya upaya memberi kepastian kepada masyarakat bahwa negara hadir di tengah krisis.
Meskipun sudah terdapat berbagai upaya positif, respons pemerintah terhadap bencana di Sumatra masih memunculkan sejumlah catatan kritis.
Analisis pakar kebijakan publik di The Conversation menyatakan bahwa respons keputusan pemulihan diambil secara tergesa tanpa kerangka pemulihan jangka panjang yang jelas.
Selain itu, berbagai pihak mulai dari masyarakat terdampak hingga lembaga publik seperti Ombudsman RI, menyoroti perlunya percepatan koordinasi dan pengambilan keputusan pada fase awal kedaruratan.
Fokusnya bukan hanya pada kehadiran pejabat di lapangan, tetapi juga pada efektivitas kebijakan, pemulihan layanan dasar, serta kepastian perlindungan bagi para pengungsi.
Di tengah menunggu kepastian respons pemerintah pusat, berbagai lembaga pemerintah daerah dan non-pemerintah bergerak cepat untuk membantu masyarakat yang terdampak.
Salah satunya seperti Pemerintah Kota Surabaya yang dilansir dari Surabaya Times, telah mengirimkan bantuan pangan berupa 22 ton beras dan donasi tunai serta membuka posko peduli bencana Sumatra.
Partai politik seperti PKS juga menjadi sorotan. Sebab mereka berkontribusi mengirimkan relawan medis menempuh perjalanan lintas provinsi dan kesediaan fraksi PKS memotong gajinya untuk disumbangkan kepada korban bencana dalam rangka penanganan bencana di provinsi Sumatra (PKS.id, 5/12/2025).
Tak hanya pemerintah, masyarakat dari berbagai kalangan juga turut membantu Sumatra. Mulai dari kalangan siswa sekolah seperti organisasi Palang Merah Remaja (PMR) SMA Negeri 5 Jember.
Mereka sukses menuntaskan aksi penggalangan dana dari seluruh warga SMAN 5 Jember yang kemudian diserahkan kepada PMI Kabupaten Jember (Dinas Kominfo Jawa Timur, 5/12/2025).
Tak ketinggalan, Universitas Airlangga juga turut menggalang donasi untuk membantu penanganan bencana Sumatra.
Selain donasi, Universitas Airlangga juga membawakan bantuan berupa filter air, supply energi, hingga starlink untuk mendukung komunikasi (unair.ac.id,12/12/2025).
#WargaBantuWarga memanglah terbukti bisa meningkatkan solidaritas dan empati sosial antar warga Indonesia. Dalam konteks penanganan bencana, kegiatan #WargaBantuWarga juga bisa mempercepat pemulihan awal bencana seperti mempercepat evakuasi, pemenuhan kebutuhan dasar, dan penanganan darurat.
Namun, hal ini tidak boleh dibiarkan terus-menerus karena bisa-bisa layanan publik yang seharusnya hak dasar berubah menjadi sesuatu yang tergantung pada inisiatif warga.
Pengobatan gratis hanya ada saat ada gerakan kemanusiaan dan bantuan sosial hanya datang saat ada galang dana viral. Ketika bantuan itu habis, warga kembali merasakan ketidakpastian dan kesulitan.
Kerusakan infrastruktur bisa diperbaiki dalam hitungan tahun. Namun, kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah perlu dibangun secara konsisten. Saat informasi resmi terlambat, masyarakat percaya bahwa jalur pemerintah tidak dapat diandalkan saat krisis.
Mereka mencari informasi dari mana saja, bahkan dari rumor. Padahal, saat mengeruk hasil sumber daya alamnya, pemerintah bergerak sangat cepat. Namun, kenapa penanganan dari bencana yang tercipta dari tangan pemerintah membutuhkan waktu yang lama?
Salah satu isu yang paling banyak disorot adalah keputusan pemerintah untuk tidak segera menetapkan status bencana nasional, meskipun jumlah korban jiwa dan kerusakan cukup besar.
Sejumlah organisasi masyarakat sipil mendesak agar status darurat nasional ditetapkan untuk mempercepat mobilisasi anggaran dan sumber daya, tetapi pemerintah memilih mempertahankan status yang ada. Perdebatan semakin panas ketika pemerintah Indonesia memutuskan menolak tawaran bantuan asing.
Padahal, analisis berbagai pihak memperkirakan bahwa pemulihan penuh wilayah terdampak dapat memakan waktu hingga puluhan tahun, mengingat kerusakan besar pada infrastruktur dan lingkungan.
Keputusan ini dipandang sebagian kalangan sebagai bentuk kehati-hatian politik untuk menghindari kelumpuhan birokrasi daerah. Namun, di sisi lain menimbulkan kekhawatiran bahwa beban pemulihan akan terlalu berat jika hanya mengandalkan kapasitas domestik.
Salah satu dimensi yang sering luput dari sorotan media adalah dampak jangka panjang bencana terhadap layanan dasar. Ratusan fasilitas pendidikan rusak dan banyak anak terpaksa berhenti sekolah.
Bila situasi ini berlangsung berbulan-bulan, risiko learning loss dan potensi tidak kembali ke bangku sekolah akan semakin besar. Selain pendidikan, layanan kesehatan dan juga menghadapi tekanan berupa fasilitas kesehatan yang rusak, tenaga kesehatan yang terdampak, serta meningkatnya penyakit di pengungsian menuntut koordinasi lintas lembaga.
Jika koordinasi tidak solid, warga akan mengalami “bencana kedua” berupa terganggunya layanan dasar, bahkan setelah banjir surut dan tanah berhenti bergerak. Akar masalahnya bukan sekadar kurangnya logistik atau personel.
Apa yang bisa dilakukan? Pertama, pemerintah harus mereformasi sistem komando bencana. Mungkin bahkan membentuk lembaga atau khusus untuk percepatan penanganan bencana, sebagaimana diusulkan para ahli UGM (Antara News, 12/12/2025).
Kedua, perlu dibuat dashboard informasi resmi yang memberikan data banjir secara real-time agar warga tidak bergantung pada rumor. Ketiga, literasi kebencanaan harus masuk kurikulum sekolah, lengkap dengan simulasi rutin dan materi risiko.
Solusi ini tampak sederhana, bukan? Namun, justru itu yang selama ini tidak dilakukan. Pemerintah lebih sibuk memindahkan bantuan setelah bencana terjadi ketimbang membangun kapasitas masyarakat sebelum bencana datang.
Jika negara ingin benar-benar belajar dari tragedi Sumatra, langkah pertama yang bisa dilakukan adalah memperbaiki tata kelola dan komunikasi publik, agar masyarakat memiliki kepercayaan, informasi, dan kesiapan yang layak.
Karena kadang, yang membunuh bukan hanya air bah yang datang tiba-tiba, tetapi sistem yang tidak pernah siap untuk menyambutnya. Yang jauh lebih penting adalah sejauh mana kebijakan mampu melindungi hak-hak dasar warga, bukan hanya hari ini, tetapi juga untuk masa depan generasi yang tumbuh di tengah risiko bencana yang terus berulang.
Ibarat susun batu, tata kelola negara pun harus disusun dengan berhati-hati. Semangat, Sumatra! Semoga bisa segera pulih, saudara.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News


