Kota Tangerang sering kali hanya dikenal melalui deretan pabrik yang mengepulkan asap atau kesibukan Bandara Soekarno-Hatta yang tidak pernah tidur. Namun dibalik citra kaku sebagai kota industri dan penyangga ibu kota, terdapat denyut nadi kebudayaan yang berdetak kencang di tepian Sungai Cisadane.
Kawan GNFI pasti sepakat bahwa menjaga warisan leluhur di tengah gempuran modernitas bukanlah perkara mudah. Tantangan tersebut menjadi semakin nyata ketika tongkat estafet pelestarian budaya diserahkan kepada generasi muda atau yang akrab disapa Gen Z.
Banyak stigma yang menyebutkan bahwa generasi muda saat ini cenderung apatis terhadap akar budaya sendiri. Namun, anggapan tersebut berhasil dipatahkan dengan elegan melalui gelaran Festival Budaya Kota Tangerang atau Benteng Culture Festival yang baru saja usai dilaksanakan.
Perhelatan yang mengambil tempat di Metropolis Town Square tersebut bukan sekadar seremoni tahunan biasa. Gelaran tersebut menjadi panggung pembuktian bahwa anak muda Tangerang memiliki cara unik untuk mencintai identitas kotanya.
Melalui pendekatan yang adaptif, kreatif, dan sangat dekat dengan teknologi, generasi muda berhasil mengubah wajah festival budaya yang dulunya terkesan kaku menjadi sebuah perayaan yang dinamis dan relevan.
Kawan GNFI perlu melihat bahwa keberhasilan acara tersebut bukan hanya terletak pada kemeriahan panggung, melainkan pada pergeseran paradigma tentang bagaimana tradisi seharusnya dirayakan di era digital.
Visualisasi Tradisi dalam Lensa Digital
Generasi Z merupakan penduduk asli dunia digital yang memahami kekuatan visual. Kawan GNFI tentu menyadari bahwa sebuah acara belum dianggap sah jika belum terunggah di media sosial. Dalam konteks Benteng Culture Festival, perilaku digital tersebut justru menjadi alat promosi paling efektif. Setiap sudut festival dirancang dengan estetika yang memanjakan mata, sehingga memancing pengunjung untuk mengabadikan momen.
Penampilan seni yang penuh warna, mulai dari tarian kreasi tradisional, kostum fesyen kebaya yang megah, hingga atraksi Reog Ponorogo, menjadi materi konten yang sangat menarik untuk disebarluaskan melalui platform seperti TikTok atau Instagram. Algoritma media sosial pun bekerja menyebarkan keindahan budaya Tangerang ke jangkauan yang lebih luas, melampaui batas geografis kota.
Para pegiat seni muda menyadari bahwa agar tradisi tetap hidup, warisan tersebut harus masuk ke dalam percakapan digital. Melalui unggahan-unggahan pendek namun memikat, narasi tentang keberagaman budaya Kota Tangerang menjadi viral dan memicu rasa penasaran netizen. Kebanggaan kolektif mulai tumbuh ketika melihat identitas lokal suatu masyarakat mendapat apresiasi positif di dunia maya.
Dokumentasi digital yang dilakukan oleh ribuan pengunjung tersebut secara tidak langsung menciptakan arsip budaya yang tersimpan rapi di awan internet. Dengan demikian, teknologi yang sering dituduh sebagai pembunuh tradisi, justru berbalik peran menjadi juru selamat yang paling andal dalam merawat memori kolektif masyarakat.
Harmonisasi Musik Modern dan Warisan Leluhur

Ilustrasi kesenian di Festival Budaya Tangerang
Salah satu sorotan utama yang membuat festival tersebut begitu hidup yaitu kecerdasan panitia dalam meramu susunan pengisi acara. Kehadiran grup musik populer seperti D’Masiv, Sejedewe, dan musisi bergenre modern lainnya tidak dimaksudkan untuk menggeser posisi kesenian tradisional.
Justru, kehadiran bintang tamu nasional tersebut berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan selera musik populer dengan khazanah musik daerah. Panggung yang sama digunakan untuk menampilkan orkes gambus, tanjidor, rampak bedug, hingga aransemen lagu Betawi modern. Strategi kurasi tersebut berhasil menghapus sekat pemisah antara "budaya pop" dan "budaya tradisi".
Proses akulturasi musik yang terjadi di atas panggung mencerminkan wajah Kota Tangerang yang multikultural. Kawan GNFI bisa melihat bagaimana ansambel tehyan yang merupakan alat musik gesek khas Tionghoa Benteng bisa dinikmati oleh anak muda yang sama yang juga melompat girang saat musik ska atau pop dimainkan.
Penampilan kolaboratif yang melibatkan komunitas lokal dan seniman nasional juga memberikan suntikan semangat bagi para pelaku seni daerah untuk terus berkarya.
Solidaritas Kemanusiaan sebagai Gaya Hidup

Ilustrasi solidaritas masyarakat di Festival Budaya Tangerang
Poin paling menyentuh dari gelaran festival budaya kali ini yaitu integrasi nilai kemanusiaan di dalam pesta rakyat. Gen Z dikenal sebagai generasi yang memiliki kepedulian sosial tinggi atau socially aware. Menjawab karakter tersebut, penyelenggara tidak hanya menyajikan hiburan semata, tetapi juga membuka ruang solidaritas bagi saudara sebangsa yang sedang tertimpa musibah di Sumatera dan Aceh.
Penggalangan donasi yang dilakukan di tengah kemeriahan acara menunjukkan bahwa empati menjadi bagian tidak terpisahkan dari budaya masyarakat Tangerang. Gotong royong yang merupakan warisan leluhur paling murni dapat dipraktikkan secara nyata, bukan hanya sekadar menjadi jargon di spanduk jalanan.
Aksi solidaritas tersebut memberikan dimensi kedalaman yang berbeda bagi sebuah festival budaya. Pengunjung yang hadir diajak untuk merenung sejenak, bahwa di balik kegembiraan merayakan identitas, terdapat tanggung jawab moral untuk saling membantu.
Respons positif dari pengunjung yang menyisihkan sebagian rezekinya membuktikan bahwa kepedulian sosial masih tumbuh subur di hati masyarakat perkotaan. Kawan GNFI patut berbangga, karena nilai luhur gotong royong berhasil diterjemahkan oleh anak muda menjadi aksi filantropi yang konkret.
Membangun Masa Depan Kebudayaan yang Cerah
Kesuksesan Festival Budaya Kota Tangerang dalam menarik puluhan ribu pengunjung dan mencatatkan perputaran ekonomi yang signifikan tanpa melupakan misi sosial menjadi sebuah pencapaian gemilang.
Hal tersebut menjadi sinyal optimisme bahwa masa depan kebudayaan Indonesia berada di tangan yang tepat. Generasi muda Tangerang sudah membuktikan bahwa tradisi bisa berjalan beriringan dengan gaya hidup modern, teknologi, dan semangat kemanusiaan.
Kawan GNFI, semangat yang terpancar dari Tangerang ini hendaknya menular ke kota-kota lain di Indonesia. Adaptasi merupakan kunci bertahan hidup dan kolaborasi merupakan jalan menuju kemajuan. Ketika pemerintah daerah, komunitas seni, sektor swasta, dan generasi muda bersatu padu, kebudayaan akan menemukan jalan untuk terus relevan di setiap zaman.
Mari terus dukung inisiatif-inisiatif baik yang berusaha menjaga nyala api kearifan lokal agar tidak padam tertiup angin perubahan zaman. Pada akhirnya, bangsa yang besar yaitu bangsa yang anak mudanya bangga mengenakan identitas budayanya sendiri sehingga kaki berpijak dimana pun dan dalam situasi apa pun zaman tetap bergerak.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News


