Pedukuhan Kalangbangi Wetan di Kabupaten Gunungkidul kerap dikenal publik dengan sebutan Kampung Janda. Julukan ini memantik rasa penasaran, namun di baliknya tersimpan cerita ketahanan sosial perempuan desa yang jarang disorot secara mendalam.
Sebutan tersebut muncul karena realitas sosial yang hidup di tengah masyarakat, sekitar sepertiga kepala keluarga di pedukuhan ini dipimpin oleh perempuan berstatus janda atau ibu tunggal. Kondisi ini mulai ramai diperbincangkan sejak banyak wartawan datang meliput wilayah tersebut pada 2021.
“Awalnya itu bukan niat dijuluki Kampung Janda. Teman saya wartawan ke sini main, terus ditulis karena memang jandanya banyak. Dari situ jadi viral,” ungkap salah satu informan, Ibu Damayanti di lokasi, Rabu (27/11/2024).
Sejak saat itu, label Kampung Janda melekat kuat dan membentuk cara pandang orang luar terhadap kehidupan warganya. Padahal, di balik sebutan yang terdengar sensasional, tersimpan kisah perjuangan perempuan desa yang harus menjalani peran ganda sebagai pencari nafkah sekaligus pengasuh anak. Kisah ini tidak dimaksudkan untuk mengasihani, melainkan untuk memahami bagaimana ibu tunggal membangun cara bertahan hidup di tengah keterbatasan.
Kampung Janda dan Perubahan Struktur Sosial
Fenomena meningkatnya jumlah perempuan sebagai kepala keluarga di pedesaan menunjukkan perubahan struktur sosial sekaligus tantangan baru dalam relasi gender dan ekonomi keluarga. Di Kalangbangi Wetan, dari sekitar 70–80 kepala keluarga, sekitar 30 keluarga dipimpin oleh ibu tunggal. Mayoritas berada pada usia 30 tahun ke atas dan telah memiliki anak.
Latar belakang menjadi janda pun beragam. Ada yang kehilangan pasangan karena meninggal dunia, ditinggal tanpa kejelasan, hingga bercerai akibat konflik rumah tangga atau perselingkuhan. Meski berbeda cerita, mereka memiliki kesamaan nasib, yaitu harus melanjutkan hidup tanpa pasangan dengan tanggung jawab ekonomi dan pengasuhan yang sepenuhnya berada di pundak sendiri. Dalam kebijakan sosial, ibu tunggal termasuk dalam kategori Wanita Rawan Sosial Ekonomi (WRSE) sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Sosial Nomor 8 Tahun 2012.
Cara Bertahan Hidup melalui Kerja Apa Saja
Hasil wawancara menunjukkan bahwa hampir seluruh ibu tunggal di Kampung Janda bekerja. Pekerjaan bukan sekadar pilihan, melainkan kebutuhan utama agar dapur tetap terisi. Jenis pekerjaan yang mereka lakukan sangat beragam dan sebagian besar bersifat informal.
“Di sini jandanya kerja semua. Walaupun janda, kerjanya kayak laki-laki. Gugur gunung, angkat ember semen, ikut semua,” tutur salah satu warga, Ibu Damayanti di lokasi, Rabu (27/11/2024).
Sebagian bekerja sebagai buruh tani, pedagang kecil, penganyam rotan dan enceng gondok, pekerja warung, hingga mengerjakan pekerjaan serabutan sesuai musim. Ketika ada pekerjaan di sawah atau sambatan, mereka saling mengajak untuk bekerja bersama.
“Kalau ada kerjaan ya ditawarin bareng-bareng. Ayo nandur neng kene. Rame-rame, yang bisa ikut semua,” jelas informan lain, Ibu Sudarmi di lokasi, Rabu (27/11/2024).
Penghasilan yang diperoleh sering kali tidak menentu dan hanya cukup untuk kebutuhan harian. Ketika pemasukan berkurang, para ibu tunggal berusaha mencukupi semampunya. “Kalau kurang ya dicukup-cukupkan. Penghasilan cuma segitu,” ujar seorang ibu tunggal.
Bertahan Hidup melalui Modal Sosial dan Solidaritas
Keterbatasan ekonomi di Kalangbangi Wetan tidak dihadapi secara individual. Para ibu tunggal bertahan melalui modal sosial yang kuat. Modal sosial ini tampak dalam praktik saling membantu, berbagi informasi pekerjaan, dan kerja kolektif dalam berbagai aktivitas.
Menurut salah satu warga, Ibu Damayanti, masyarakat pedukuhan Kalangbangi Wetan memiliki kehidupan sosial yang baik, apabila terdapat pekerjaan menganyam, bertani, atau memasak untuk acara tertentu, mereka bekerja bersama agar penghasilan bisa dibagi dan dirasakan bersama.
Menurut salah satu informan, hidup sebagai ibu tunggal tidak bisa dijalani sendirian. “Kalau sendiri ya berat. Tapi karena bareng-bareng, jadi ringan,” tuturnya.
Modal sosial inilah yang menjadi strategi utama resiliensi finansial ibu tunggal di Kampung Janda.
Bertahan Hidup di Tengah Stigma dan Trauma
Di balik kekompakan sosial, stigma terhadap status janda tetap dirasakan. Beberapa ibu tunggal mengalami luka batin mendalam akibat ditinggal suami, terutama dalam kasus perselingkuhan.
“Sakit itu ada. Ditipu, ditinggal, ketemu suaminya sama istri barunya bawa anak, itu sakit sekali,” ungkap salah satu informan.
Pengalaman tersebut membuat sebagian ibu tunggal memilih untuk tidak menikah lagi. Keputusan ini bukan semata karena trauma, tetapi juga keinginan untuk fokus membesarkan anak. “Cukuplah hidup sama anak. Cukup ga cukup dicukup-cukupkan,” ujar seorang ibu tunggal.
Meski demikian, dalam kehidupan sosial desa, para ibu tunggal tetap aktif dan diterima. Mereka mengikuti kegiatan dasawisma, pengajian, hingga kerja bakti. Status janda tidak menjadi penghalang untuk berpartisipasi penuh dalam kehidupan kampung.
Menilik Ulang Cara Bertahan Hidup
Pengalaman ibu tunggal di Kampung Janda menunjukkan bahwa bertahan hidup tidak selalu identik dengan kestabilan ekonomi atau kepemilikan aset. Di Kalangbangi Wetan, bertahan hidup dimaknai sebagai kemampuan untuk terus bekerja meski penghasilan tidak menentu, menjaga keberlangsungan keluarga melalui solidaritas sosial, serta mengambil keputusan hidup yang dianggap paling aman bagi diri dan anak.
Kampung Janda Gunungkidul dengan demikian tidak hanya merepresentasikan stigma sosial, tetapi juga memperlihatkan praktik nyata ketahanan hidup perempuan desa.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News


