Peraturan Kepolisian (Perpol) Nomor 10 Tahun 2025 menjadi sorotan publik pasca-diumumkan beberapa waktu lalu. Aturan tersebut menuai beragam reaksi dan polemik karena dianggap menyalahi aturan Mahkamah Konstitusi (MK) soal Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) yang dilarang menduduki jabatan sipil.
Perpol tersebut mengatur soal penugasan Polri untuk menduduki jabatan di luar struktur organisasi di sejumlah kementerian dan lembaga—sekitar 17 institusi sipil. Di sisi lain, MK melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 114/PUU-XXIII/2025 menyatakan bahwa anggota Polri aktif tidak boleh menduduki jabatan yang tidak memiliki sangkut paut dengan kepolisian.
Kebijakan penugasan anggota Polri di ranah sipil disebut berpotensi mengganggu tata kelola pemerintahan sipil, bahkan mereduksi prinsip meritokrasi Aparatur Sipil Negara (ASN). Artinya, anggota kepolisian yang aktif dan menduduki jabatan sipil harus mengundurkan diri dari dinas kepolisian.
Pakar Analisis Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada (UGM), Dr. Subarsono, M.Si., M.A., dalam keterangannya di ugm.ac.id menilai penempatan kepolisian aktif dalam jabatan sipil berpotensi memunculkan kemunduran praktik tata kelola pemerintahan yang baik serta mengganggu proses demokrasi.
Rangkap Jabatan Sipil Bisa Munculkan Potensi Otoritariasnisme
Lebih lanjut, Subarsono menerangkan bahwa rangkap jabatan itu juga mengabaikan fungsi pokok kepolisian yang sudah diatur dalam Pasal 13 UU No. 2 Tahun 2002 dalam menjaga keamanan dan memberikan perlindungan serta pelayanan pada masyarakat. Fenomena ini disebutnya tidak lepas dari penyimpangan pada fungsi utama kepolisian seperti yang sudah diatur dalam perundang-undangan.
“Saya melihat secara rasional fenomena ini sebagai perebutan sumber daya ekonomi yang bisa mensejahterakan anggotanya dan kemunduran dalam praktik tata kelola pemerintahan yang baik,” katanya.
Polisi aktif yang bertugas di jabatan sipil disebut Subarsono memperbesar risiko lahirnya otoritarianisme dan mengganggu jalannya birokrasi yang selama ini sudah dibangun secara partisipatif dan dialogis. Akademisi ini menerangkan bagaimana karakter kepolisian yang bersifat hierarkis, sedangkan birokrasi sipil lebih menekankan pada musyawarah dalam mengambil keputusan.
Oleh karena itu, rangkap jabatan kepolisian di ranah sipil dapat membuat perbedaan karakter yang mendorong ketegangan dalam praktik sehari-hari. Perbedaan karakter inilah yang harus dihindari dalam menjalankan birokrasi.
“Polisi adalah aparat yang memegang prinsip satu komando, sementara budaya organisasi sipil bertumpu pada dialog dan ruang perbedaan pendapat sebelum kebijakan diambil,” jelas lelaki yang juga Dosen Manajemen Kebijakan Publik UGM tersebut.
Jika keputusan soal Perpol itu tetap dilaksanakan dan keputusan MK tidak dijalankan dengan substantif, Subarsono mengatakan terkait akan adanya kemungkinan kemunduran dalam tata kelola pemerintahan. Tak hanya itu, ia juga menegaskan bahwa sudah sepatutnya institusi sipil di negara demokratis dipimpin oleh warga sipil.
Keterlibatan aparat dalam ranah sipil dapat melemahkan kontrol sipil atas aparatur negara yang berasal dari kepolisian. Jika tidak ditindaklanjuti, semangat reformasi yang selama ini sudah dibangun akan mengalami kemunduran.
“Kembalinya polisi aktif ke jabatan sipil bisa dianggap sebagai langkah mundur dari reformasi pasca 1998 dan berpotensi melemahkan kontrol sipil atas aparatur negara,” tegasnya.
Kemudian, apabila keputusan MK tidak dijalankan secara substantif, ada potensi munculnya risiko dalam legitimasi kebijakan publik dan dapat mengganggu stabilitas pemerintahan. Pejabat sipil yang kehilangan legitimasi sosial disebut Subarsono akan menghadapi kesulitan dalam mengeksekusi kebijakan karena muncul resistensi sosial dan minimnya dukungan politik.
“Fenomena ini berpotensi mengurangi jabatan yang bisa dipegang ASN dan merugikan karier mereka dalam jangka panjang,” paparnya.
Langkah Apa yang Harus Diambil Pemerintah?
Subarso menyarankan beberapa langkah kebijakan untuk mengembalikan prinsip meritokrasi dan profesionalisme birokrasi di tengah polemik itu, salah satunya dengan adanya kebijakan lunak atau soft policy tanpa menimbulkan konflik terbuka.
Ada dua hal yang bisa dilakukan presiden, yakni meminta Kapolri untuk mencabut Perpol No.10 Tahun 2025 yang tidak sejalan dengan keputusan MK. Hal ini perlu dilakukan untuk memastikan konsistensi kebijakan eksekutif dengan konsitusi.
Selanjutnya, presiden juga bisa menggunakan kewenangan pemegang kekuasaan eksektif tertinggi dalam menerbitkan Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden yang dapat secara ekspilisit mencabut Perpol tersebut.
“Kedua langkah ini menjadi langkah tegas pemerintah dalam menjaga profesionalisme birokrasi dan membatasi perluasan peran aparat keamanan di ranah sipil,” pungkasnya.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News


