Video-video itu memenuhi linimasa saya. Isinya hampir seragam. Jalanan menuju Jogja yang disesaki ribuan mobil. Bergerak merayap. Beradu bumper. Lampu rem yang menyala merah sepanjang kilometer menjadi pemandangan rutin di layar ponsel. Destinasi wisata yang biasanya anggun pun tampak tumpek blek. Tempat makan legendaris yang dulu bisa dinikmati dengan santai. Kini antreannya membludak sampai ke bahu jalan.
"Satu Indonesia ke Jogja." Demikian ungkapan yang viral di media sosial. Kalimat itu benar-benar menguasai jagat maya di musim akhir tahun ini.
Ada fenomena menarik lainnya yang melintas di beranda. Bali. Destinasi yang biasanya menjadi kiblat liburan akhir tahun. Justru dikabarkan agak sepi. Orang-orang lebih memilih menyeberangi jembatan atau melintasi tol trans-jawa demi satu titik: Yogyakarta.
Angka 9,38 juta wisatawan diprediksi tumpah ke sana. Bayangkan. Hampir sepuluh juta manusia berdesakan di satu provinsi yang tidak terlalu luas. Itu bukan lagi statistik pariwisata. Itu sudah seperti eksodus besar-besaran.
Dinas Perhubungan mencatat 700 ribu kendaraan masuk melalui berbagai pintu gerbang kota. Padahal di hari biasa. Angkanya hanya di kisaran 125 ribu. Lonjakan yang hampir enam kali lipat ini menciptakan pemandangan yang luar biasa. Sekaligus menguji daya dukung infrastruktur kota.
Bagus buat Jogja. Tentu saja. Untuk banyak alasan yang sangat positif. Roda ekonomi berputar dengan kecepatan tinggi. Uang mengalir deras ke kantong-kantong rakyat. UMKM lokal. Mulai dari penjual bakpia hingga perajin suvenir. Semuanya bergeliat. Hotel-hotel penuh hingga ke kamar terakhir. Pendapatan asli daerah melonjak drastis.
Dan yang paling krusial. Citra Jogja sebagai destinasi favorit semakin kokoh di benak masyarakat Indonesia. Jogja berhasil membuktikan diri sebagai magnet yang lebih kuat dari pantai-pantai di Bali. Ini adalah panen raya yang layak dirayakan oleh setiap warga di sana.
Saya ini orang Jogja. Lahir di sana. Besar di sana. Kuliah pun di sana. Kini saya tinggal di Surabaya bersama anak dan istri. Saya tentu punya ikatan batin yang tak terpisahkan dengan Jogja. Jogja adalah identitas saya yang paling mendasar.
Namun. Volume manusia sebanyak itu tentu mengubah suasana secara radikal. Kepadatan yang masif membuat ruang gerak menjadi sangat terbatas. Waktu libur yang seharusnya digunakan untuk istirahat dan kontemplasi. Sering kali habis diecer di atas aspal jalanan. Menunggu kemacetan terurai.
Jika saya memaksakan diri pulang ke Jogja saat ini. Saya hanya akan menambah satu lagi unit kendaraan di tengah lautan macet itu. Saya lebih memilih memberi ruang bagi Jogja untuk melayani tamu-tamunya dengan maksimal. Mencintai kota kelahiran bisa dilakukan dengan cara yang lebih konstruktif. Memberikan kesempatan bagi roda ekonomi di sana untuk bernapas. Tanpa perlu tambahan beban dari kehadiran saya.
Maka. Ketika arus besar bergerak ke satu titik. Saya memilih bergeser sedikit ke timur. Ke Solo.
Sebenarnya. Saya sering ke Solo. Atau setidaknya sekadar lewat. Namun jujur saja. Saya belum pernah benar-benar menjelajahi kota ini. Belum pernah menyelami alunan budayanya yang dalam. Atau merasakan langsung kehangatan keramahtamahan masyarakatnya secara utuh. Ada rasa bersalah yang menyelip di hati setiap kali saya hanya melintasi Solo tanpa mengeksplorasi lebih dalam.
Hanya kali ini. Saya punya niat bulat untuk melakukannya. Dan hasilnya? Saya benar-benar terkesima.
Malam ini saya duduk menikmati nasi liwet. Penjualnya seorang ibu separuh baya. Saya perhatikan tangannya yang cekatan. Begitu lincah memainkan jari menata lauk dan ubo rampenya. Nasi gurih hangat itu diletakkan di atas daun pisang yang dipincuk dengan lidi. Sebuah estetika yang sederhana. Namun sangat fungsional.
Di belakang saya. Sayup-sayup terdengar suara gamelan jawa berkumandang pelan. Tidak ada bising knalpot yang memekakkan telinga. Tidak ada teriakan orang mengantre meja atau suara klakson yang tidak sabar. Hanya suara denting saron yang menenangkan. Aroma santan yang wangi beradu dengan aroma angsle dan wedang jahe yang hangat. Dan angin malam yang semilir.
Di Solo. Saya masih bisa menemukan napas yang lega. Jalanan kota tidak terkunci rapat. Trotoarnya luas. Bersih. Dan sangat ramah bagi pejalan kaki. Ada ketenangan yang sulit dicari di tengah keriuhan jutaan orang yang sedang "menyerbu" Jogja.
Soal budaya. Solo adalah kembaran Jogja yang tak kalah adiluhung. Keduanya punya akar sejarah yang kuat dari rahim Mataram. Jika Jogja punya Keraton. Solo punya Kasunanan dan Mangkunegaran. Keduanya sama-sama menyimpan makna budaya yang dalam dan indah. Cagar budayanya dirawat sangat rapi. Anggun sekali.
Mungkin karena pengunjungnya belum sebanyak Jogja. Saya bisa lebih lama meresapi setiap sudut bangunannya. Menikmati detail ukiran kayu. Tanpa harus merasa dikejar oleh antrean orang di belakang yang ingin berburu foto untuk media sosial.
Lalu soal harga. Ini yang sering membuat saya heran.
Banyak yang bilang Jogja itu murah. Memang benar. Tapi Solo punya standar "murah" yang lebih konsisten. Lebih murah, dan gak naik naik harganya. Seringkali mengejutkan.
Saya beli nasi liwet lauk ayam kampung paha. Istri pesan nasi liwet dengan telur rebus penuh. Satu biji. Begitu hendak membayar. Saya kaget. Totalnya hanya 35 ribu rupiah untuk dua porsi itu.
Saya melongo. Di Surabaya. Kalau ada yang jualan nasi liwet dengan menu serupa. Dua bungkus bisa kena 80 ribu rupiah. Bahkan bisa 100 ribu rupiah. Di Solo harganya 'nendang' sekali. Gak ada embel-embel "harga turis" meski sedang musim liburan.
Masyarakatnya pun punya ritme yang tenang. Ramahnya halus. Khas orang Solo yang tidak suka terburu-buru. Ada kemewahan dalam kesederhanaan dan ketenangan itu yang sulit dinilai dengan uang.
Saya tidak sedang membandingkan untuk menjatuhkan. Jogja tetaplah rumah bagi saya dan jiwa saya. Namun. Ketika "Satu Indonesia" memutuskan untuk berkumpul di satu titik yang sama. Ada baiknya saya mencari alternatif yang lebih proporsional.
Solo menawarkan hal yang sama dengan apa yang dicari orang di Jogja. Budaya yang kuat. Kuliner yang memanjakan lidah. Keramahtamahan yang tulus. Bedanya hanya satu. Di Solo. Kita masih bisa menikmati itu semua tanpa harus merasa sesak.
Saya benar-benar terkesima. Ternyata selama ini ada permata yang sering saya lewatkan begitu saja. Solo memberikan saya ruang untuk benar-benar "pulang". Bukan hanya pulang ke suatu tempat. Tapi pulang ke sebuah perasaan. Perasaan tenang, mirip masa kecil saya dulu, di tengah masyarakat Jawa.
Tahun ini. Biarlah Jogja merayakan keriuhannya dengan jutaan tamu itu. Saya memilih di Solo saja. Menikmati pincuk nasi liwet dan angsle dengan alunan gamelan jawa di kejauhan. Dan melihat serta merasakan kota yang berjalan dengan kecepatan yang pas. Tidak lambat. Tapi juga tidak grasah-grusuh.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News


