Gunung Tangkuban Parahu berdiri tenang di utara Bandung, seperti penjaga tua yang menyimpan banyak rahasia. Bentuknya memang mudah dikenali, menyerupai perahu terbalik. Namun, daya tariknya bukan hanya soal rupa. Gunung ini menyimpan kisah panjang tentang bumi, waktu, dan hubungan manusia dengan alam. Ia bukan sekadar tempat wisata, melainkan arsip alam yang masih terbuka dan terus berbicara kepada siapa pun yang mau mendengarkan.
Dalam catatan geologi, Tangkuban Parahu merupakan sisa dari Gunung Sunda Purba. Gunung raksasa itu runtuh akibat letusan besar puluhan ribu tahun lalu. Dari runtuhan itulah muncul struktur baru yang kemudian membentuk Tangkuban Parahu.
Proses ini tidak terjadi sekali waktu. Ia berlangsung perlahan, melalui banyak fase letusan dan pengendapan. “Struktur yang kita lihat sekarang adalah hasil proses geologi yang sangat panjang,” tulis P.H. Silitonga dalam Buku Geologi Lembar Bandung tahun 1973.

Di antara banyak kawah yang terbentuk, Kawah Pangguyangan Badak menempati posisi penting. Kawah ini dianggap sebagai salah satu yang tertua di kawasan tersebut. Letaknya berada di perbatasan Kabupaten Bandung Barat dan Subang, pada ketinggian sekitar 2.084 meter di atas permukaan laut. Dari sanalah sejarah panjang gunung ini dapat ditelusuri kembali.
Menurut Kartadinata, aktivitas vulkanik di kawasan ini berlangsung sejak ratusan ribu tahun lalu. Letusan demi letusan membentuk lapisan batuan yang kini menjadi fondasi wilayah Bandung Utara.
Gunung ini tidak terbentuk dalam satu peristiwa besar, melainkan melalui rangkaian kejadian panjang yang saling berhubungan. Setiap lapisan batu menyimpan cerita tentang tekanan, panas, dan perubahan bumi.
Nama Pangguyangan Badak lahir dari cara masyarakat Sunda memahami alam. Kata “pangguyangan” berarti tempat berkubang. Sementara “badak” merujuk pada hewan besar yang dahulu hidup bebas di hutan Jawa Barat. Bentuk kawah yang menyerupai kubangan besar membuat orang-orang dahulu menamainya demikian. Penamaan itu bukan asal sebut, melainkan hasil pengamatan dan kedekatan dengan lingkungan.
Bagi masyarakat Sunda, memberi nama berarti memberi makna. Nama bukan sekadar penanda, melainkan bentuk hubungan antara manusia dan alam. “Penamaan tempat selalu lahir dari pengalaman hidup bersama alam,” tulis Kartadinata dalam buku Evolusi Gunungapi Tangkuban Perahu. Dalam konteks ini, Kawah Pangguyangan Badak bukan hanya bentuk geologi, tetapi juga bagian dari ingatan kolektif.
Secara ilmiah, kawah ini diperkirakan terbentuk antara 90.000 hingga 40.000 tahun lalu. Letusannya tergolong besar, dengan daya ledak tinggi. Material berupa abu, pasir, dan batuan terlontar ke berbagai arah. Endapan itu kemudian membentuk lapisan tanah yang kini menjadi dasar wilayah sekitarnya.
Setelah fase letusan besar berakhir, gunung tidak langsung tenang. Lava masih terus mengalir perlahan mengikuti kontur alam. Aliran ini membentuk jalur panjang yang kini bisa dilihat di kawasan Maribaya, Curug Dago, dan Curug Cimahi. Silitonga mencatat volume lava yang mengalir mencapai sekitar dua kilometer kubik. Jejaknya masih jelas hingga hari ini.
Secara bentuk, Kawah Pangguyangan Badak menyerupai tapal kuda. Bagian terbukanya menghadap ke timur. Diameternya sekitar 1.014 meter, lebih besar dibandingkan Kawah Ratu. Dinding kawahnya melengkung kuat, sementara bagian dasarnya relatif landai. Bentuk ini menunjukkan proses pengendapan lava yang terjadi secara perlahan dan stabil.
Kabut sering turun tanpa tanda. Suasana menjadi sunyi dan dingin. Kesan tua dan tenang sangat terasa di tempat ini. Kawah ini tidak berdiri sendiri. Ia bertetangga dengan Kawah Ratu dan Kawah Upas, membentuk garis memanjang dari barat ke timur. Dari arah selatan, rangkaian ini tampak seperti perahu terbalik. Dari situlah nama Tangkuban Parahu berasal.
Selain tiga kawah utama, kawasan ini juga memiliki Kawah Domas, Kawah Jurig, Kawah Siluman, dan Kawah Baru. Masing-masing memiliki karakter berbeda. Kawah Domas masih aktif dan mengeluarkan uap panas serta lumpur belerang. Kawah Upas dan Kawah Ratu bahkan dibatasi karena kandungan gas beracun. Semua itu menandakan bahwa gunung ini belum sepenuhnya tidur.
Namun Tangkuban Parahu bukan hanya tentang batu dan magma. Ia juga hidup dalam cerita. Masyarakat Sunda mengenal legenda Badak Putih, sosok penjaga gunung yang menjaga keseimbangan alam. Badak ini bukan makhluk biasa, melainkan simbol peringatan agar manusia tidak melampaui batas.
“Badak putih bukan sekadar dongeng,” kata juru kunci gunung mejelaskan pada penulis (23/12/2025). “Ia adalah tanda agar manusia menghormati alam.” Kepercayaan ini tumbuh dari pengalaman panjang hidup berdampingan dengan gunung yang aktif.
Dalam pandangan ini, gunung bukan benda mati. Ia dianggap makhluk tua yang memiliki kehendak dan ingatan. Alam tidak ditaklukkan, tetapi dijaga dan dihormati. Di sinilah ilmu pengetahuan dan kepercayaan lokal bertemu. Sains menjelaskan prosesnya, sementara cerita memberi makna pada keberadaannya.

Kini, Tangkuban Parahu menjadi ruang belajar terbuka. Peneliti datang membawa alat ukur dan catatan ilmiah. Wisatawan datang membawa rasa ingin tahu. Jalur pengamatan dan papan informasi dibuat agar manusia bisa belajar tanpa merusak. Gunung tetap dijaga agar tetap berceriuta.
Kawah Pangguyangan Badak bukan sekadar cekungan tua di punggung gunung. Ia adalah simpul sejarah alam dan budaya. Ia menyimpan letusan purba, aliran lava, dan kisah badak putih yang hidup dalam ingatan kolektif. Di sanalah waktu bergerak pelan, dan manusia belajar memahami tempatnya di hadapan alam.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News


