penjarahan pasca bencana melalui kacamata psikologis - News | Good News From Indonesia 2025

Penjarahan Pasca Bencana Melalui Kacamata Psikologis, Lengkap dengan Penanganannya

Penjarahan Pasca Bencana Melalui Kacamata Psikologis, Lengkap dengan Penanganannya
images info

Penjarahan Pasca Bencana Melalui Kacamata Psikologis, Lengkap dengan Penanganannya


Tahukah Kawan GNFI, jika baru-baru ini banyak berita yang bermunculan di media sosial tentang bencana yang terjadi di beberapa wilayah di Indonesia? Bencana tersebut tak hanya diikuti oleh kabar tentang hancurnya rumah, korban jiwa, rusaknya ekologis, dan bantuan darurat, tetapi juga tentang munculnya penjarahan di sebuah minimarket yang dilakukan oleh warga terdampak.

Penjarahan menurut hukum pidana Indonesia, merupakan suatu tindakan mengambil secara paksa barang kepunyaan orang lain dengan maksud untuk dimiliki. Psikologi melihat penjarahan yang timbul sesaat setelah bencana sebagai respons ketika rasa aman, kendali, dan keamanan untuk menjalani hidup mendadak hilang.

Dalam peristiwa bencana alam yang ekstrem dan merubah cara masyarakat mengambil tindakan yang tidak rasional seperti menjarah, memunculkan pertanyaan: Apa yang terjadi pada psikologis manusia saat bencana sehingga mendorong mereka untuk menjarah?

Penjarahan: Bukan Hanya Soal Moral, tetapi Fenomena Psikologis

Saat krisis publik terjadi akibat bencana alam, penjarah seringkali dinilai sebagai orang yang tidak beretika dan tidak bermoral. Namun, dalam kacamata psikologis, penjarahan yang timbul sebagai aksi masyarakat, tidak bisa langsung dinilai salah dan bukan berarti pula dinilai benar karena adanya tekanan mendasar yang mengubah cara manusia berpikir dan melakukan tindakan impulsif.

Menurut Sheikhi dkk. (2025), penjarahan tidak semata berasal dari niat kriminal dan kejahatan seseorang, melainkan adanya kebutuhan mendasar fisiologis yang tidak terpenuhi dan menekan individu untuk memenuhi kebutuhan tersebut secepatnya. Seringkali, stres akut akibat menunggu bantuan logistik yang lama memaksa mereka untuk menjarah.

“Survival Mode” sebagai Naluri Psikologis untuk Bertahan Hidup

Saat bencana besar terjadi dan ancaman akan kematian menjadi nyata, fokus mental individu bergeser dari mode menjalani hidup ke mode bertahan hidup atau survival mode. Fase survival mode, biasanya dipicu oleh kondisi psikologis seperti ketakutan, kecemasan, kelaparan, kepanikan massal, dan stres akut akibat bencana.

Dalam situasi ini, kemampuan berpikir rasional seseorang akan turun secara drastis, sementara insting dan emosi untuk bertahan hidup menjadi lebih dominan. Ketika emosi bekerja lebih dominan, amygdala dalam otak akan memberikan sinyal kuat dan prefrontal cortex yang bekerja untuk logika atau rasionalitas dan kontrol diri akan melemah sehingga menyebabkan individu melakukan tindakan penjarahan.

Dorongan Kuat untuk Melakukan Tindakan Impulsif

Tindakan impulsif muncul karena perubahan seseorang memaknai situasi hidup. Seseorang bukan lagi fokus pada keputusan jangka panjang, tetapi pemenuhan akan kebutuhan darurat yang cepat dan instingtif. Dorongan impulsif ini membuat individu bertindak secepat mungkin tanpa mempedulikan aturan yang ada.

Penjarahan muncul sebagai respon spontanitas atau otomatis terhadap ancaman kematian dan langka nya sumber daya atau terlambatnya bantuan darurat. Seseorang dalam situasi ini “terpaksa” untuk melanggar norma atau aturan yang ada, bukan sebagai kesengajaan, tetapi respon alamiah manusia yang timbul akibat situasi di luar kebiasaannya.

Hal ini menjadikan penjarahan dipandang sebagai tindakan yang “wajar” karena dilakukan oleh mayoritas individu terdampak bencana.

Menangani Penjarahan melalui Pendekatan Psikologis

Berdasarkan banyaknya penelitian yang dilakukan melalui perspektif psikologis, penjarahan yang dilakukan oleh individu terdampak bencana bisa dilakukan pencegahan atau penanganan apabila telah terlanjur terjadi. Salah satu caranya adalah menciptakan coping mechanism untuk mengatasi tekanan psikologis akibat bencana.

Sebuah penelitian oleh Mandas dkk. (2025), menunjukkan bahwa strategi koping atau cara yang bisa dilakukan oleh individu dalam mengatasi stres akibat bencana dikelompokan menjadi 2, yakni koping yang berfokus pada masalah dan koping yang berfokus pada emosi.

Koping yang berfokus pada masalah bertujuan untuk mengatasi dan mengubah situasi yang menyebabkan stres sehingga menimbulkan tindakan impulsif seperti penjarahan, mulai dari mencari perlindungan hingga berkoordinasi kepada pihak yang berwenang untuk mendapatkan bantuan.

Sementara itu, koping yang berfokus pada emosi bertujuan untuk mengelola dan meredakan emosi yang timbul akibat bencana tanpa mengubah situasi tersebut baik dengan cara berdoa, berbicara dengan keluarga dan teman serta adanya Psychological First Aid (PFA).

Banyak perspektif yang bermunculan terkait dengan tindakan penjarahan. Sering kali, penjarahan hanya dilihat melalui satu perspektif saja tanpa mempertimbangkan aspek psikologis yang membentuk tindakan tersebut.

Kawan GNFI, penjarahan bukanlah tindakan yang benar dan bisa dinormalisasi, tapi dengan memahami adanya aspek selain norma, hukum dan ekonomi yang memicu tindakan penjarahan, Kawan juga dapat melihat adanya tekanan dan unsur keterpaksaan yang membuat individu melakukan penjarahan dan membedakannya dengan perilaku kriminalitas yang disengaja.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

VC
KG
Tim Editorarrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.