Media sosial kini telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari, khususnya bagi generasi muda. Data dari Priori Data mencatat bahwa pada tahun 2025 jumlah pengguna media sosial di dunia mencapai 5,32 miliar orang. Setiap harinya, rata-rata pengguna menghabiskan waktu sekitar 2 jam 30 menit untuk mengakses berbagai platform digital.
Di balik perannya sebagai ruang berbagi cerita, hiburan, dan informasi, media sosial juga menyimpan sisi lain yang perlu disadari. Penggunaan yang berlebihan diketahui dapat memengaruhi perilaku dan gaya hidup, terutama pada anak muda yang masih berada dalam fase pencarian jati diri.
Budaya Banding-Membandingkan di Era Scroll Tanpa Henti
Di era scroll tanpa henti, media sosial kerap membuat kita tanpa sadar membandingkan diri dengan orang lain. Salah satu dampak dari ketergantungan terhadap media sosial adalah munculnya kebiasaan self-comparison, yakni menilai diri sendiri berdasarkan apa yang terlihat di layar gawai.
Berbagai platform digital dipenuhi oleh gambaran standar kecantikan dan gaya hidup yang tampak sempurna. Mulai dari tubuh ideal hingga kehidupan yang terlihat selalu bahagia, semua itu perlahan memengaruhi cara seseorang memandang dirinya sendiri.
Tekanan ini terasa semakin kuat, terutama bagi remaja yang masih membangun kepercayaan diri. Akibatnya, kebiasaan membandingkan diri dengan orang lain pun menjadi semakin sulit dihindari.
Dampak Media Sosial bagi Kesehatan Mental Anak Muda
Menurunnya Self-Esteem (Harga Diri)
Salah satu dampak psikologis yang kerap muncul akibat penggunaan media sosial secara berlebihan adalah menurunnya self-esteem atau harga diri. Coopersmith dalam Priska et al. (n.d.) menjelaskan bahwa self-esteem merupakan cara seseorang memandang dan menilai dirinya sendiri apakah ia mampu menerima dirinya, merasa berharga, dan memiliki tujuan hidup.
Ketika self-esteem menurun, individu cenderung meragukan dirinya sendiri dan merasa tidak cukup baik. Perasaan ini dapat berkembang menjadi keyakinan bahwa dirinya tidak dicintai atau tidak disukai oleh lingkungan sekitar.
Dalam jangka panjang, kondisi tersebut dapat memicu rasa kesepian dan keterasingan sosial. Media sosial, dengan berbagai standar ideal dan perbandingan yang terus ditampilkan, kerap memperkuat perasaan tersebut tanpa disadari.
Fear of Missing Out (FOMO)
Fenomena lain yang sering muncul adalah Fear of Missing Out atau FOMO. Kondisi ini merujuk pada rasa cemas atau takut tertinggal dari peristiwa, aktivitas, atau hubungan sosial yang sedang berlangsung.
Individu yang mengalami FOMO cenderung sangat bergantung pada telepon pintar, mudah merasa gelisah ketika tidak mengecek media sosial, serta terdorong untuk membagikan hampir setiap aktivitas dan pengalaman mereka secara daring. Jika dibiarkan, kondisi ini dapat memicu kecemasan dan ketergantungan emosional terhadap media sosial.
Meningkatnya Kecemasan Berlebih
Penggunaan media sosial yang tidak terkontrol juga berkaitan dengan meningkatnya gangguan kecemasan. Penelitian yang dilakukan oleh Cerniglia et al. (2017) menunjukkan bahwa intensitas penggunaan media sosial yang tinggi dapat memicu distres emosional, seperti suasana hati yang menurun (mood dysphoric), gangguan tidur atau insomnia, mudah tersinggung, serta rasa gelisah ketika tidak terhubung dengan media sosial.
Fenomena ini menjadi pengingat bahwa di tengah kemudahan dan konektivitas yang ditawarkan, media sosial tetap perlu digunakan secara bijak agar tidak berdampak negatif bagi kesehatan mental, khususnya bagi generasi muda.
Berhenti Membandingkan, Mulai Memahami Diri

Foto: Unsplash.com/dole77
1. Menggunakan Media Sosial dengan Lebih Sadar
Media sosial akan selalu menjadi bagian dari kehidupan generasi muda. Namun, ketika digunakan dengan kesadaran emosional—menyadari apa yang kita rasakan setelah scroll—media sosial bisa kembali menjadi alat, bukan sumber tekanan.
2. Mengganti Kebiasaan Scroll dengan Kesadaran
Scroll tanpa henti sering kali membuat kita lupa apa yang sebenarnya sedang dicari. Dengan bertanya pada diri sendiri, apakah konten ini membuat kita belajar atau justru merasa kurang, penggunaan media sosial dapat menjadi lebih terarah, bukan sekadar reaksi otomatis.
3. Berani Memberi Jeda Ketika Mulai Lelah
Rasa gelisah, cemas, atau takut tertinggal sering kali menjadi tanda bahwa kita butuh berhenti sejenak. Mengambil jarak dari media sosial bukan berarti tertinggal, melainkan upaya merawat diri di tengah arus informasi yang terus bergerak.
4. Tidak semua yang terlihat perlu dijadikan pembanding
Di media sosial, kita melihat begitu banyak versi hidup orang lain dalam waktu singkat. Namun, tidak semua pencapaian, penampilan, atau kebahagiaan orang lain relevan untuk dijadikan ukuran diri. Memilih mana yang layak dikagumi tanpa harus ditiru menjadi langkah awal menjaga kewarasan di ruang digital.
Media sosial memang menawarkan banyak manfaat, tetapi penggunaannya yang berlebihan dapat berdampak pada kesehatan mental anak muda, mulai dari kebiasaan membandingkan diri, menurunnya kepercayaan diri, hingga meningkatnya kecemasan.
Oleh karena itu, penting bagi generasi muda untuk lebih sadar dan bijak dalam menggunakan media sosial. Dengan menjaga keseimbangan serta membangun kebiasaan digital yang sehat, media sosial tetap dapat menjadi ruang yang positif dan mendukung perkembangan diri.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News


