Ada tempat-tempat yang khas di berbagai daerah di Nusantara yang digunakan masyarakat untuk berkumpul dan berbincang. Tempat itu termasuk warung. Dulu waktu saya kuliah tahun 1970-an, seorang sahabat saya dari Kabupaten Lamongan memberi info bahwa kalau kita ingin mendengar perbincangan soal politik, maka datanglah ke warung-warung di pinggir jalan Lamongan; nanti akan saya temui macam-macam pengunjung warung itu yang serius membicarakan situasi politik negara.
Saya pernah menulis di media online fenomena yang sama di atas, yaitu warung menjadi tempat berkumpulnya masyarakat—tepatnya warung kopi di Aceh—setelah saya mendapatkan video pendek yang dibagikan sahabat saya yang pernah ikut Pertukaran Pemuda ASEAN-Jepang tahun 1982; sebuah video pendek seorang ustaz yang membicarakan keunikan Aceh. Beliau menjelaskan di Aceh, apa pun status sosialnya—seorang pemimpin atau rakyat jelata—selalu melakukan kewajiban minum kopi pada waktu pagi. Setelah melaksanakan ibadah salat subuh, membaca zikir, lalu mereka menuju warung-warung kopi untuk minum kopi hangat yang berserakan di kota Aceh. Menariknya, kata ustaz, warung-warung kopi itu memiliki segmentasi karakter atau minat para pengunjung/peminum kopi; ada warung kopi yang pengunjungnya mengobrol tentang politik dan ada pula warung yang penikmat kopinya membicarakan masalah ekonomi. Sang ustaz ini bahkan mengutip kata-kata terkenal pahlawan nasional Aceh Teuku Umar, "Esok kita minum kopi di kedai Meulaboh atau esok saya syahid."—"Kopi dan jihad," kata Ustaz.
Baru-baru ini saya tertarik dengan tulisan Rizana Rosemary dan Alfi Rahman dari Universitas Syiah Kuala yang juga membicarakan keunikan warung kopi di Aceh pascabanjir bandang yang melanda Aceh. Keduanya menulis “Cerita dari Banda Aceh: Ketika warung kopi menjadi ruang ketahanan sosial saat bencana” di media The Conversation tanggal 16 Desember 2025.
Mereka menyebutkan bahwa Banda Aceh sering disebut sebagai “kota seribu warung kopi”. Sebutan ini lahir dari tradisi panjang berkumpul, berbagi cerita, dan membangun jejaring sosial lewat secangkir kopi. Dan menariknya, ketika musibah tiba-tiba datang berupa banjir bandang, peran warkop bergerak jauh melampaui fungsi awalnya sebagai tempat singgah. Saat listrik padam total dan sinyal telepon hilang berjam-jam, warkop berubah menjadi semacam titik penopang informasi bagi warga. Sebab, banyak warkop di Banda Aceh memiliki genset dan jaringan internet mereka sendiri.
Warung kopi kemudian menjadi tempat tidak hanya untuk minum kopi dan berbincang-bincang serta isi baterai HP, tapi menjadi semacam “crisis center” di mana warga mencari kabar tentang keluarganya yang putus kontak dan ingin mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Warga merasa bahagia sekali ketika hampir semua kediaman warga mati lampu, tidak ada sinyal untuk komunikasi, lalu melihat warung-warung kopi lampunya menyala. Rasa lega muncul karena mereka bisa bernapas mengirim berita ke keluarganya. Dalam situasi bencana, warkop menjadi ruang pertama yang menyediakan dua hal yang paling dibutuhkan: informasi dan koneksi sosial.
Menariknya lagi, keunikan warung kopi di Aceh di situasi darurat ini yaitu menjadi tempat tidak saja untuk kegiatan sosial warga, namun juga kegiatan akademis pun ikut berpindah ke sana; karena di berbagai sudut warkop, pelajar SMA, mahasiswa, termasuk guru dan dosen tampak duduk berdampingan, mengerjakan tugas, mengikuti ujian daring, atau sekadar membuka platform pembelajaran kampus. Dengan perpustakaan, kampus, dan ruang-ruang belajar lain tertutup karena listrik padam—sementara tuntutan akademis tetap berjalan—warkop menjadi jembatan yang memungkinkan proses belajar tetap berlanjut.
Ya, berbagai identitas sosial kumpul di warung kopi itu, tempat yang sederhana tapi mampu beradaptasi cepat di situasi kritis yang memperlihatkan bagaimana ruang publik yang sederhana mampu beradaptasi cepat, menyesuaikan diri dengan kebutuhan warga di tengah krisis. Perubahan ini menunjukkan bagaimana identitas sosial dapat mencair ketika struktur formal mandek.
Kedua penulis di atas menjelaskan: “Di tengah pemadaman listrik dan terputusnya komunikasi, batas-batas sosial—antara tua dan muda, mahasiswa dan pekerja, warga biasa dan pejabat, maupun mereka yang berstatus ekonomi berbeda—menjadi jauh lebih lentur. Mereka duduk di meja yang sama, saling berbagi colokan, bertukar kabar, dan menguatkan satu sama lain tanpa memandang latar belakang.” Mereka melanjutkan: “Warkop dalam kondisi seperti ini membuktikan dirinya sebagai ruang publik informal yang mampu mengambil alih peran perekat sosial: menyatukan kelompok-kelompok masyarakat yang dalam keadaan normal mungkin jarang terhubung secara egaliter. Ruang ini menjadi tempat perjumpaan lintas kelas, lintas generasi, dan lintas profesi.”
Keunikan warung kopi di Aceh itu bisa menjadi “lesson learned” bagi kita semua bahwa di situasi yang sulit, infrastruktur formal memerlukan dukungan cadangan berbasis masyarakat. Ruang publik informal dapat menjadi pendukung dan alternatif penyangga ketika sistem resmi berhenti berfungsi.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News


