Bukit Barisan, dengan semua luka yang kita paksakan padanya, kini menjadi cermin paling jujur tentang siapa kita: makhluk yang tak pandai menjaga rumahnya sendiri, dan tak pernah siap menerima konsekuensi dari kelalaiannya.
Bencana ekologis yang menerjang Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat pekan lalu seperti sebuah babak baru dari kisah yang terus-menerus kita tulis dengan ketidaksabaran, kerakusan, dan ingatan yang pendek. Lebih dari enam ratus jiwa tersapu sekejap, hampir lima ratus lainnya hilang ditelan riak lumpur dan hening yang mengeras. Angka-angka itu seperti deretan nama yang belum sempat dipahatkan pada batu nisan; sebuah barisan sunyi yang seharusnya membuat kita menunduk, tetapi entah mengapa hanya lewat begitu saja di linimasa.
Di tengah duka itu, Bukit Barisan berdiri seperti tubuh renta yang sudah terlalu lama memikul beban. Ia disebut “tulang punggung” Sumatera, tetapi kita memperlakukannya seperti tubuh tak berjiwa: ditebang, digerus, dikikis, dipaksa menyanggah ambisi ekonomi yang selalu lapar. Kita lupa bahwa tulang punggung pun bisa retak. Dan ketika ia retak, ia tak hanya patahkan dirinya sendiri, tetapi juga tubuh-tubuh lain yang menggantungkan kehidupan padanya.
Dalam catatan-catatan lama, para tetua sering menyebut gunung-gunung itu sebagai penjaga. Mereka tidak hanya batu dan tanah; mereka adalah makhluk sunyi yang mengatur aliran air, mengerem angin dari Samudra Hindia, menahan hujan yang liar. Tapi penjaga pun bisa letih. Ketika akar-akar raksasa yang memeluk tanah dicabut satu per satu oleh gergaji dan izin-izin yang basah oleh kompromi, saat itulah tubuh penjaga mulai goyah. Dan pekan lalu, mereka jatuh.
Kita menyebut itu “bencana alam”, seolah alam sedang murka tanpa alasan. Padahal, bisa jadi alam hanya sedang mengembalikan semua yang telah kita pinjam dengan sembrono. Kita memanen hasil hutan tanpa menghitung musim, membuka tambang tanpa menghitung generasi, membangun jalan tanpa menghitung curah hujan. Demokrasi pun kerap dipakai sebagai dalih—katanya demi kesejahteraan, demi pembangunan. Tetapi jika demokrasi hanya menjadi jubah bagi pengerukan, tidakkah itu sekadar kedok yang dipakai untuk menyembunyikan ketidakadilan yang makin menebal?
Baca Selengkapnya