gua butha sebagai jiwa kultural bondowoso melalui ijen geopark - News | Good News From Indonesia 2025

Gua Butha sebagai Jiwa Kultural Bondowoso melalui Ijen Geopark

Gua Butha sebagai Jiwa Kultural Bondowoso melalui Ijen Geopark
images info

Gua Butha sebagai Jiwa Kultural Bondowoso melalui Ijen Geopark


Saat Kawan GNFI mendengar nama Bondowoso, benak sebagian besar orang mungkin langsung tertuju pada hamparan kebun kopi berkualitas ekspor atau posisinya sebagai salah satu gerbang utama menuju fenomena api biru Kawah Ijen.

Kabupaten berjuluk "Republik Kopi" tersebut memang identik dengan agrowisata dan panorama alam pegunungan.

Namun, Bondowoso menyimpan sebuah lapisan identitas yang jauh lebih kuno dan mendalam, sebuah warisan yang baru belakangan memperoleh panggung apresiasi yang layak.

Pengakuan Ijen Geopark sebagai bagian dari Jaringan Geopark Global UNESCO (UGG) menjadi momentum pengungkapan harta karun tersebut. Sebuah geopark tidak melulu soal bebatuan vulkanik atau lanskap geologi yang menawan.

Konsep geopark mengikat tiga pilar tidak terpisahkan, yaitu keanekaragaman hayati (biodiversity), keanekaragaman geologi (geodiversity), dan keanekaragaman budaya (cultural diversity).

Pada pilar ketiga inilah, Bondowoso menunjukkan pesonanya yang paling otentik. Jauh dari keriuhan kawah, tersembunyi di tebing-tebing cadas Pegunungan Hyang, terdapat sebuah situs yang dapat disebut sebagai "jiwa kultural" kabupaten tersebut. Namanya Gua Butha.

baca juga

Sebuah peninggalan yang bukan sekadar goa, melainkan sebuah prasasti spiritual yang menceritakan laku sunyi para pertapa di masa lampau. Melalui panggung Ijen Geopark, wajah spiritual Bondowoso yang lama terlelap kini diperkenalkan kepada dunia.

Melampaui Nama Sang Raksasa

 Gua Butha, salah satu peninggalan di Desa Ramban Kulon
info gambar

Gua Butha, salah satu peninggalan di Desa Ramban Kulon


Nama "Gua Butha" berasal dari bahasa Madura lokal yang berarti "Raksasa". Penamaan tersebut tentu bukan tanpa alasan. Siapapun yang pertama kali mencapai mulut gua, baik di situs Cermee maupun di Sumber Canting, akan disambut oleh pahatan relief wajah yang mengintimidasi.

Sebuah Kepala Kala (Butha) raksasa terpahat langsung pada dinding tebing. Gambaran sosok tersebut tampil menyeramkan seperti mata melotot lebar, hidung besar, bibir menyeringai memperlihatkan gigi dan taring yang runcing, serta tangan dengan kuku-kuku tajam.

Bagi mata awam, pahatan tersebut mungkin terlihat sebagai sosok jahat atau penjaga yang angker. Namun dalam tradisi arsitektur dan spiritualitas Jawa kuno, Kepala Kala memiliki fungsi yang jauh berbeda. Sosok tersebut bukanlah representasi kejahatan, melainkan simbol penjaga kesakralan.

Dalam kosmologi Hindu-Buddha, Kala adalah pelindung ruang suci, sebuah entitas yang bertugas menelan dan menetralisir segala pengaruh negatif atau niat buruk dari dunia luar sebelum memasuki area yang disucikan.

Pahatan raksasa tersebut adalah gerbang filter. Keberadaannya justru mengonfirmasi bahwa bagian dalam cerukan tebing itu bukanlah tempat biasa. Sang Raksasa menjaga sebuah rahasia, sebuah inti spiritual yang teramat penting.

baca juga

Memahami Gua Butha berarti harus berani melangkah melampaui tafsiran harfiah namanya. Perlu ada upaya melihat apa yang sebenarnya dilindungi oleh Sang Kala, sebab di situlah letak jiwa sesungguhnya dari situs tersebut.

Ruang Hening Pertapaan Majapahit

 Gua Butha, suasana hening sebagai objek wisata ternama
info gambar

Gua Butha, suasana hening sebagai objek wisata ternama


Di balik penjagaan Sang Butha, terkuaklah fungsi asli situs tersebut. Gua Butha merupakan sebuah pertapaan atau tempat para biksu Buddha menjalankan laku spiritual dan meditasi.

Para ahli sejarah dan arkeologi memperkirakan situs tersebut berasal dari era akhir Kerajaan Majapahit, sekitar abad ke-13 hingga ke-14 Masehi. Salah satu pahatan di situs Sumber Canting bahkan memuat penanggalan Saka yang merujuk pada tahun 1394 Masehi.

Karakter pertapaan Buddha sangat kental terasa. Selain relief Kala sebagai penjaga, dinding tebing juga dihiasi pahatan-pahatan bernuansa spiritual. Terdapat relief kuncup bunga teratai, sebuah lambang kesucian dan pencerahan dalam ajaran Buddha.

Ada pula pahatan sosok yang diyakini sebagai Buddha sedang bermeditasi, serta gambaran pertapa dan relief-relief lain yang menunjang suasana ritual keagamaan.

Pemilihan lokasi gua bukanlah kebetulan. Berada di tebing cadas yang curam dengan kemiringan mencapai 70 derajat dan ketinggian ratusan meter dari dasar lembah, lokasi pertapaan tersebut sangat sulit dijangkau.

Akses yang ekstrem bukanlah halangan, melainkan sebuah prasyarat. Para leluhur sengaja memilih tempat yang jauh dari peradaban, sunyi, dan menantang. Sebuah lokasi ideal guna mengasingkan diri dari hiruk pikuk duniawi, memusatkan pikiran, dan mencari ketenangan batin.

Gua Butha adalah monumen laku spiritual personal, sebuah antitesis dari kemegahan candi-candi agung Majapahit yang bersifat komunal. Ajaibnya di tengah kondisi lingkungan yang tergolong kering dan tandus, terdapat sumber air kecil di bawah gua yang dipercaya tidak pernah kering sepanjang musim. Sebuah metafora sempurna tentang kehidupan spiritual yang ditemukan di tengah kesulitan.

baca juga

Geopark sebagai Panggung Apresiasi

Selama berabad-abad, Gua Butha tertidur dalam kesunyian sejarah. Keberadaannya hanya diketahui oleh masyarakat lokal, terisolasi oleh medannya yang berat. Nilai sejarah dan spiritualnya yang tinggi belum terkomunikasikan secara luas.

Potensi kerusakan akibat tangan jahil atau ketidaktahuan pun membayangi, seperti yang terlihat pada beberapa bagian relief yang mulai rusak.

Penetapan Ijen Geopark mengubah segalanya. Status tersebut berfungsi sebagai kurator global. Gua Butha yang berlokasi di Desa Jirek Mas (Cermee) dan Desa Sukorejo (Sumber Wringin) didapuk menjadi salah satu cultural site utama dalam portofolio Ijen Geopark. Status tersebut memberikan panggung apresiasi yang baru dan sangat dibutuhkan.

Apresiasi tersebut hadir dalam bentuk yang tepat. Gua Butha tidak didorong menjadi objek wisata massal yang gegap gempita. Sifat sakral dan lokasinya yang rapuh tidak memungkinkan hal tersebut.

Sebaliknya, Ijen Geopark mendorong pengembangan situs tersebut sebagai destinasi wisata minat khusus, edukasi, dan penelitian. Pengunjung yang datang adalah mereka yang benar-benar tertarik pada sejarah, spiritualitas, dan budaya.

Dukungan pemerintah daerah dan keterlibatan aktif Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) setempat mulai terlihat dalam upaya membuka akses yang lebih aman, berupa jalan setapak, tanpa merusak keaslian lanskap.

Para pemandu lokal kini diberdayakan, tidak hanya sebagai penunjuk jalan, tetapi sebagai narator yang menceritakan kisah agung di balik pahatan batu tersebut. Lokasi yang dulu dianggap sebagai kendala, kini justru menjadi "berkah terselubung", sebuah filter alami yang memastikan hanya pengunjung berniat baik yang dapat mencapainya.

Gua Butha adalah bukti nyata bahwa Bondowoso bukan hanya soal kopi dan kawah. Jauh di dalam nadinya, tersimpan denyut spiritualitas kuno warisan Majapahit. Sebuah jiwa kultural yang otentik, hening, namun sarat makna.

Melalui Ijen Geopark, jiwa yang lama tersembunyi itu akhirnya mendapatkan pengakuan dan perlindungan yang layak, siap berkisah kepada Kawan GNFI dan dunia tentang kekayaan peradaban Nusantara.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

TA
KG
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.