Pondok Pesantren Maslakul Huda (PMH) di Kajen, Pati, telah berdiri sejak 1910. Pesantren ini dikenal sebagai pusat keilmuan ushul fiqh di Indonesia. Tak hanya itu, Pesantren Maslakul Huda juga menjadi salah satu pelopor pesantren ramah anak sejak 2010.
Tidak ada catatan yang pasti kapan PMH didirikan. Akan tetapi, diduga pesantren ini berdiri sekitar tahun 1910-an. Saat itu, K.H. Mahfudh Salam yang sedang menimba ilmu di Makkah, singgah dan belajar kepada K.H. Hasyim Asy’ari di Tebuireng. Usai dari sana, ia kembali ke Kajen dan mengajak santri-santri di Tebuireng untuk mendirikan pesantren.
Sebagaimana dikutip dari situs Laduni.id, “Pada waktu itu, Kyai Mahfudh (ayah Kyai Sahal Mahfudz) telah menginjak dewasa, beliau ingin mempunyai pesantren sendiri. Kyai Mahfudh setelah menimba ilmu dari Makkah sempat tabarukan (belajar ulang) sebentar kepada KH. Hasyim Asy’ari, ketika beliau ngangsu kaweruh di Tebuireng, saat itu sudah diberikan kesempatan mengajar oleh KH. Hasyim Asy’ari, sehingga ketika Kyai Mahfudh minta diri pulang untuk merintis pesantren di Kajen, beberapa santri yang dulu menjadi muridnya di Tebuireng ikut beliau dan akhirnya menjadi santri pertama di Maslakul Huda."
Setelah K.H. Mahfudh Salam wafat, kepemimpinan pesantren diteruskan oleh adiknya, K.H. Ali Mukhtar. Barulah kemudian, pesantren dikelola K.H. MA Sahal Mahfudz.
Awalnya, pesantren ini dikenal dengan nama Polgarut. Nama ini diambil dari lokasi pesantren itu berdiri, yakni Gempol Garut. Nama Maslakul Huda baru digunakan pada masa kepemimpinan K.H. MA Sahal Mahfudz pada 1963.
Maslakul Huda berarti Jalan Petunjuk. Nama ini diambil untuk melanjutkan semangat dari pesantren ayahnya, yaitu Mathali’ul Huda yang berarti Sumbernya Petunjuk.
Seiring waktu, Pondok Pesantren Maslakul Huda semakin berkembang. Tepat pada 29 April 2011, Yayasan Pesantren Maslakul Huda dibentuk.
Pesantren Ramah Anak
Pondok Pesantren Maslakul Huda (PMH) Kajen, Pati, menjadi salah satu pelopor Pesantren Ramah Anak di Indonesia. Sejak 2010, pesantren ini menerapkan kebijakan pemisahan asrama santri berdasarkan usia. Langkah ini dinilai inovatif untuk mencegah perundungan sekaligus menciptakan lingkungan belajar yang lebih aman, nyaman, dan sesuai dengan tahap perkembangan psikologis para santri.
PMH menilai, perbedaan usia membawa dinamika sosial dan psikologis yang perlu dikelola. Anak usia 13 tahun, misalnya, memiliki kebutuhan pendampingan yang berbeda dibandingkan santri usia 18 tahun.
“Pengasuh memulai penerapan konsep pesantren ramah anak dengan kebijakan pembedaan lokasi atau tempat tinggal para santri sesuai dengan usia tumbuh kembangnya,” kata Wakil Pengasuh Pesantren, Hj. Tutik Nurul Janah, dikutip dari P3M.or.id.
Menghapus Sistem Pasrah Bongkoan
Tutik Nurul Janah menekankan bahwa pesantren harus membangun komunikasi positif antar seluruh pemangku kepentingan, mulai dari pengasuh, guru, wali santri, hingga pemerintah. Ia menilai, kerja sama yang sehat di antara mereka menjadi fondasi utama dalam menciptakan lingkungan pesantren yang ramah anak.
Menurutnya, wali santri adalah bagian penting dalam mewujudkan pesantren ramah anak. Para orang tua tak bisa lagi menyerahkan sepenuhnya urusan pendidikan anak kepada pesantren seperti pola lama yang disebut pasrah bongkoan. Dalam pandangan Ning Tutik, relasi ideal antara pesantren dan orang tua adalah kemitraan yang saling menguatkan, bukan hubungan satu arah.
Ia mencontohkan, ketika anak-anak hidup dalam lingkungan komunal seperti di pesantren, orang tua perlu membantu menanamkan pemahaman tentang batas-batas hak dan tanggung jawab antarindividu.
“Orang tua juga harus menjadi faktor penting dalam memberi pemahaman kepada anak-anak di pesantren mengenai hal-hal yang penting dilakukan saat hidup secara komunal,” katanya.
Komunikasi yang terbuka juga perlu dijalin dengan pemerintah. Dalam beberapa tahun terakhir, Kementerian Agama RI memang aktif mendorong terwujudnya pesantren ramah anak dan perempuan, antara lain melalui sosialisasi dan pelatihan bagi pengasuh pesantren di berbagai daerah. Upaya ini, menurut Ning Tutik, perlu disambut dengan kolaborasi konkret di tingkat akar rumput agar benar-benar berdampak pada keseharian santri.
“Sehingga wali santri juga bisa melakukan penguatan kepada anak-anaknya secara bersama-sama dengan pesantren,” tandasnya.
Dengan demikian, visi pesantren ramah anak merupakan hasil sinergi antara pesantren, keluarga, dan pemerintah.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News