Kawan GNFI, teh adalah salah satu minuman yang sering dikonsumsi dalam kehidupan sehari-hari, bisa ditemukan mulai dari warung makan hingga restoran cepat saji. Meski dikenal kaya antioksidan dan memiliki banyak manfaat kesehatan, kebiasaan mengonsumsi teh pada waktu yang salah seperti saat makan atau dalam satu jam setelah makan sering kali tidak disadari dapat memengaruhi penyerapan zat gizi penting.
Tanin yang terdapat dalam teh mampu berikatan dengan zat besi sehingga menurunkan jumlah yang dapat diserap tubuh. Jika kebiasaan ini berlangsung terus-menerus, maka berisiko mengalami gangguan penyerapan besi yang dapat berujung pada anemia defisiensi besi.
Menurut Cosme et al. (2025) dalam jurnal Molecules, tanin termasuk polifenol yang berfungsi sebagai metabolit sekunder utama pada tumbuhan dan turut membentuk karakteristik sensoris bahan pangan, seperti rasa sepat dan pahit.
Teh merupakan salah satu sumber tanin yang tinggi, dan senyawa ini mampu berikatan dengan mineral, termasuk zat besi, melalui gugus hidroksilnya. Ikatan tersebut menghasilkan kompleks yang tidak larut sehingga menurunkan ketersediaan hayati mineral, terutama zat besi non-heme dari bahan pangan nabati. Sifat inilah yang menjadikan tanin digolongkan sebagai senyawa antinutrisi yang memengaruhi penyerapan zat gizi.
Sejalan dengan itu, Sari et al. (2024) dalam Journal of Health Research menjelaskan bahwa selain berinteraksi dengan mineral, tanin juga dapat mengikat protein melalui afinitasnya terhadap gugus karbonil. Ikatan tersebut menghasilkan kompleks antara tanin dan protein yang lebih sulit dicerna oleh enzim protease.
Akibatnya, pemecahan protein menjadi asam amino zat penyusun hemoglobin dan berbagai senyawa penting lainnya menjadi terhambat. Kondisi ini pada akhirnya dapat menurunkan ketersediaan asam amino yang diperlukan tubuh untuk proses metabolisme dan pembentukan hemoglobin secara optimal.
Faktor penting yang mempengaruhi besarnya penghambatan penyerapan zat besi oleh teh adalah waktu konsumsi. Ketika teh diminum terlalu dekat dengan waktu makan kurang dari satu jam tanin dapat langsung berikatan dengan besi dari makanan yang masih berada di lambung dan usus halus, sehingga penyerapan dapat menurun hingga 85%. Proses pencernaan makanan berlangsung sekitar tiga jam, membuat zat besi dalam periode tersebut masih berada di saluran cerna dan rentan terikat oleh tanin.
Berdasarkan hal tersebut, Kawan GNFI dapat mencoba memberi jarak waktu sekitar 1,5–2 jam antara waktu makan dan konsumsi teh. Langkah ini penting untuk mengurangi peluang tanin berikatan dengan zat besi yang masih berada dalam proses pencernaan awal. Dengan pengaturan waktu yang sederhana ini, bisa membantu tubuh menyerap zat besi dengan lebih baik dan mencegah terbentuknya ikatan yang membuat mineral tersebut tidak dapat dimanfaatkan oleh tubuh.
Menurut Ridwan (2012) dalam Nutrition and Food Research, vitamin C dapat menjadi alternatif yang lebih mendukung penyerapan zat besi, terutama bila dikonsumsi bersama makanan. Senyawa ini mampu meningkatkan penyerapan besi non-heme hingga empat kali lipat melalui proses reduksi Fe³⁺ menjadi Fe²⁺ yang lebih mudah diabsorpsi. Kaimudin et al. (2017) dalam Jurnal Ilmiah Mahasiswa Kesehatan Masyarakat Unsyiah melaporkan bahwa vitamin C juga membentuk kompleks besi-askorbat yang tetap larut pada pH duodenum serta menghambat pembentukan hemosiderin, sehingga ketersediaan besi dalam tubuh tetap optimal.
Marina et al. (2015) dalam Media Kesehatan Masyarakat Indonesia menegaskan bahwa konsumsi vitamin C bersama makanan sumber zat besi dapat meningkatkan absorpsi mineral tersebut hingga 3–6 kali, menjadikannya pilihan yang jauh lebih efektif dibandingkan teh yang justru menghambat penyerapan besi.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News