Wakil Menteri Kebudayaan Giring Ganesha secara tegas menyatakan bahwa Indonesia adalah sebuah negara adidaya di bidang kebudayaan. Pernyataan ini disampaikan dalam sambutannya pada acara Bangkit Fest 2025 di Jakarta, pada 17 November 2025.
Giring menegaskan bahwa kekayaan budaya yang tak ternilai ini, yang tersebar dari Sabang sampai Merauke, merupakan modal besar bangsa Indonesia untuk bersaing di panggung global, terutama di era digital dimana setiap daerah kini memiliki panggungnya sendiri.
Dari Sentralisasi ke Demokratisasi Budaya
Giring memulai paparannya dengan membandingkan ekosistem berkesenian masa lalu dengan kondisi saat ini. Ia menggambarkan era 20 tahun silam sebagai periode yang sangat tersentralisasi. Seorang musisi atau band, seperti Sheila On 7 dan Dewa yang ia contohkan, harus melalui gerbang ketat label rekaman besar dan media massa yang berpusat di Jakarta untuk dapat dikenal publik.
Prosesnya tidak demokratis dan sangat terkontrol. Namun, situasi ini telah berubah total. Kehadiran platform digital seperti YouTube, Spotify, TikTok, dan Instagram telah mendemokratisasi kebudayaan. Kini, setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk menciptakan, mempublikasikan, dan membangun basis penggemar sendiri tanpa bergantung sepenuhnya pada struktur industri lama.
Ia menyebut Denny Caknan, Tensi, dan Sheila on 7 sebagai contoh nyata bagaimana seniman dari daerah dapat mencapai popularitas nasional bahkan global dengan memanfaatkan platform digital. Fenomena ini, menurut Giring, tidak hanya berlaku di musik, tetapi juga merata di semua sektor seni, termasuk film, seni rupa, dan sastra.
Dalam konteks ini, peran netizen Indonesia dinilai sangat vital. Algoritma media sosial, yang seringkali diisi dengan konten positif dan lokal, turut memperkuat gelombang kebangkitan budaya ini.
Indonesia sebagai "Trigger Country"
Sebuah poin penting yang diungkapkan Giring adalah pengakuan dari platform musik global bahwa Indonesia adalah "trigger country of the world". Istilah ini berarti Indonesia dianggap sebagai negara pemicu yang dapat meledakkan popularitas sebuah lagu atau tren secara global. Kekuatan ini bersumber dari jutaan netizen Indonesia yang aktif mengonsumsi dan membagikan konten musik setiap hari.
Kekuatan ini semakin bertambah dengan keunikan budaya Indonesia yang menjadi ciri khas. Giring mencontohkan musisi seperti Niki yang memasukkan unsur alat musik tradisional dalam lagunya, "Every Summertime", atau kolaborasi unik ala "Garam dan Madu". Dia juga menyoroti girl band No Na yang konsisten mempertahankan identitas keindonesiaannya bahkan saat tampil di panggung internasional seperti Coachella.
"Menjadi diri sendiri ternyata justru itu yang diminati oleh dunia," tegas Giring. Kesuksesan film "Abadi Nanjap" yang masuk top global Netflix dengan 11 juta penonton, yang mengangkat tema "Jamu" warisan budaya UNESCO, semakin membuktikan thesis tersebut.
Tantangan Paradox of Abundance dan Strategi Memprioritaskan Tempe
Di balik kekayaan yang melimpah, Giring mengakui adanya tantangan yang disebutnya "Paradox of Abundance" atau Paradoks Kelimpahan. Dengan ribuan budaya, bahasa, tarian, dan kuliner yang berbeda, Indonesia seringkali kebingungan menentukan mana yang harus diprioritaskan dan dipromosikan terlebih dahulu ke kancah internasional. Ia membandingkannya dengan Thailand yang fokus mempromosikan Tom Yum dan Pad Thai, atau Korea dengan K-Pop dan Kimchi-nya.
Untuk menjawab tantangan ini, Giring mengajak semua pihak, terutama anak muda, untuk secara kompak mempromosikan budaya lokal mereka masing-masing. "You never know," ujarnya, siapa tahu suatu saat sebuah tradisi lokal seperti Pacu Jalur atau Tari tertentu bisa mendunia seperti halnya Silat.
Namun, untuk fokus yang lebih strategis, Kementerian Kebudayaan sedang memperjuangkan Tempe untuk diakui sebagai Warisan Budaya Tak Benda UNESCO pada akhir 2026. Dipilihnya tempe didasarkan pada beberapa alasan: memiliki basis UMKM yang luas, sesuai dengan tren global gaya hidup vegan dan vegetarian, serta potensinya yang besar untuk dikembangkan dalam berbagai bentuk kuliner modern, seperti tempe steak, tempe pizza, dan tempe burger.
Way of Life sebagai Kontribusi untuk Dunia
Lebih dari sekadar produk seni dan kuliner, Giring menekankan bahwa kontribusi terbesar Indonesia untuk dunia adalah "way of life" atau cara hidup yang diwariskan leluhur. Filsafat hidup seperti Tri Hita Karana dari Bali (harmoni dengan Tuhan, sesama, dan alam), Alam Takambang Jadi Guru dari Minangkabau, atau Batang Garing dari Kalimantan, semuanya mengajarkan prinsip yang sama tentang keseimbangan dan keharmonisan.
Nilai-nilai ini, yang telah tertanam dalam DNA bangsa Indonesia selama ribuan tahun, terbukti telah membentuk masyarakat yang terbuka, adaptif, toleran, dan kreatif dalam menyikapi pengaruh budaya asing.
Dalam konteks geopolitik global yang penuh ketidakpastian, Giring meyakini bahwa dunia justru semakin membutuhkan nilai-nilai harmoni yang ditawarkan oleh kebudayaan Indonesia. Melalui lagu, film, tarian, makanan, dan filsafat hidup, Indonesia dapat menghadirkan oase ketenangan dan penyeimbang.
Oleh karena itu, ia menutup pidatonya dengan seruan agar generasi muda tidak lagi malu-malu, tetapi justru bangga dan menjadi katalisator yang mengangkat budaya Indonesia ke panggung dunia. Dengan semangat ini, kebangkitan kebudayaan Indonesia bukanlah sebuah mimpi, tetapi suatu keniscayaan yang sedang terjadi.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News