Antar kampung atau “Tarkam” bukanlah istilah asing di telinga para pecinta bola voli Indonesia. Sekilas, ia tampak seperti pertandingan sederhana di lapangan desa. Namun, jika diperhatikan lebih dekat, tarkam telah berkembang menjadi ruang ekonomi yang nyata sehingga menjadi sumber penghidupan bagi banyak atlet.
Bagi sebagian pemain, tarkam bahkan lebih menjanjikan dibanding kompetisi resmi. Sebab, sifatnya yang fleksibel, cepat menghasilkan, dan sepenuhnya bergantung pada performa tubuh serta antusiasme penonton.
Hal yang menarik, dinamika ini justru paling kuat ditemukan di wilayah pedesaan. Lapangan tanah yang hanya dipasangi lampu seadanya bisa mendadak dipenuhi ratusan hingga ribuan penonton.
Mereka rela menempuh belasan atau bahkan puluhan kilometer demi menyaksikan ”Idola Tarkamnya” beraksi. Pada titik inilah tarkam bukan hanya hiburan kampung. Namun, cermin paling jujur tentang bagaimana tubuh, ekonomi, dan harapan saling bernegosiasi dalam kehidupan sehari-hari.
Pertanyaan tentang ”Apa yang membuat tarkam begitu menarik?” terus menggangguku. Hingga akhirnya, rasa penasaran itu mulai terjawab saat aku berbincang dengan Faiska, mantan atlet profesional.
Dari caranya bercerita yang tetap tenang, jujur, dan sesekali diselingi tawa kecil, aku mulai memahami sisi yang jarang terlihat dari dunia yang tampak ramai itu.
Sampai pada satu titik, aku hanya bisa tersenyum dan berkata ”Oh, iya ya,” karena semua penjelasannya terasa masuk akal.
Tarkam Sebagai Ruang Kerja dan Hiburan
Pada titik tertentu, tarkam bukan lagi sekedar pertandingan. Ia berubah menjadi panggung kecil tempat orang-orang meletakkan sejenak beban hidup dan mencari pelarian yang tidak menghakimi.
Lapangan desa menjelma menjadi semacam ritual komunal. Petani, pedagang kaki lima, buruh pabrik, ibu rumah tangga, hingga remaja sekolah berdiri di tanah yang sama bersorak dalam ritme yang serempak. Seolah merayakan bahwa mereka masih bertahan di tengah hidup yang tidak selalu ramah.
Kerumunan itu bukan sekedar kumpulan penonton. Mereka adalah individu yang mencari rasa terhubung, kebutuhan manusiawi untuk dilihat dan diakui.
Dalam kibasan angin dan riuhnya tepuk tangan, batas-batas sosial memudar. Di momen itulah, tarkam menghadirkan kebersamaan yang tak bisa dibeli.
Tubuh Atlet di antara Peluang dan Kerentanan
Di balkon kamar Faiska, aku duduk berhadapan dengannya dengan beberapa camilan sederhana. Pagi itu hembusan angin berhembus pelan, memberi rasa sejuk yang menemani obrolan kami.
Sesekali, terdengar rengekan kecil dari kamar bayi yang masih berusia lima bulan. Suasana cukup santai, membuat percakapan kami mengalir begitu saja tanpa adanya rasa canggung satu sama lain.
”Soal penghasilan, tarkam itu malah lebih menguntungkan,” ujarnya sambil tersenyum. ”Kalau namamu lagi naik atau permainanmu enak ditonton, uangnya bisa jauh lebih besar dari liga resmi.”
Kalimat itu menjelaskan banyak hal. Penyelenggara membutuhkan pemain yang bisa menarik minat penonton, tim rela membayar mahal demi meningkatkan pamor acara, sedangkan atlet bisa berpindah dari satu desa ke desa lain dalam satu malam.
Tidak ada kontrak, tidak ada aturan resmi, yang bekerja hanyalah reputasi, performa, dan kepercayaan publik sebagai mata uang.
Semua terjadi begitu cepat dan jelas siapa memberi berapa, siapa main dimana, dan siapa yang lagi naik daun.
Belum lagi jika permainannya bagus. Penonton bisa memberikan bonus dadakan sebagai apresiasi spontan atau biasa disebut ”nyawer” yang hanya bisa ditemui dalam kompetisi tarkam.
”Kalau kita mainnya enak ditonton, orang-orang biasanya juga makin semangat dukung. Dari situ yang ngasih saweran juga makin banyak,” kata Faiska.
Namun, dibalik sorak penonton, ada lapisan realitas lain yang jarang diketahui.
”Tapi kalau cedera, ya selesai, Dek,” katanya pelan.
Ucapan itu seperti menyingkap lapisan terdalam dunia tarkam. Di sinilah konsep tubuh sebagai modal. Tubuh atlet bukan hanya instrumen kerja, tetapi komoditas yang menentukan apakah ia dapat bertahan hidup. Di saat yang sama, tubuh itu juga sebagai sumber ketidakpastian terbesar. Sekali cedera, penghasilan berhenti seketika.
Tarkam seperti bentuk pekerjaan informal lainnya, hidup di bawah logika ketidakpastian permanen. Tak ada jaminan kesehatan, tak ada kontrak, tak ada perlindungan.
Apa yang terlihat sebagai gemerlap lampu, sorak-sorai, popularitas, sebenarnya berdiri di atas fondasi rapuh yang setiap saat bisa runtuh.
Dari cerita yang telah dijelaskan Faiska, dunia kerja olahraga di tarkam bukan sekedar konsep, melainkan keseharian yang dijalani atlet.
Dari mereka yang menjual kemampuan, memukul sekuat mungkin demi pendapatan malam itu. Namun penghasilan yang besar bukan jaminan. Tanpa pengelolaan yang matang, uang itu akan mudah menguap.
”Jaminan itu tergantung dari pribadi masing-masing, Dek. Kalau bisa atur uang dan mikir jangka panjang ya bakalan stabil, tapi kalau cuma mikir seneng sesaat ya lama-lama boncos.”
Kisah serupa kerap muncul di ruang publik. Salah satunya tentang mantan kiper Tim Nasional Indonesia yang diberitakan detik.com pada 2023. Ia terpaksa menjual medali untuk membantu biaya pengobatan sakit mata yang dideritanya sejak 2017. Sebuah ironi tentang prestasi, tubuh, dan kerentanan hidup setelah sorak sorai mereda.
Di Balik Tepuk Tangan, Ada Sunyi yang Menunggu
Gemuruh tepuk tangan dan sunyinya ruang keluarga adalah dua dunia yang selalu mengapit hidup seorang atlet. Keduanya akan tetap berjalan berdampingan dan saling menguji, saling mengingatkan tanpa pernah saling meniadakan.
Di balik riuh penonton, lampu yang memantul di tanah lapang, dan adrenalin permainan yang membuat pemain merasa hidup, ada kesunyian yang menunggu ketika semua itu berakhir.
Kesunyian datang ketika lampu padam. Ketika seorang atlet duduk sendiri menghitung uang yang didapat, menimbang rasa nyeri yang mulai menetap di lutut atau bahu, dan memikirkan apakah besok ia masih sanggup bermain atau apakah hidup akan berubah ketika tubuhnya tak lagi mampu.
Dan pada akhirnya, kedatanganku ke rumah Faiska bukan hanya memberiku hasil wawancara saja, tetapi juga membuka mataku terhadap kenyataan bahwa tarkam bukan hanya arena olahraga.
Ia adalah cermin kecil kehidupan yang penuh pengharapan dan ketidakpastian. Dari percakapan yang awalnya hanya sekedar berbagi pengalaman, sampai berakhir membuatku sadar bahwa di lapangan desa yang sederhana itu, manusia berusaha mempertahankan martabat, identitas, dan keberartian melalui permainan yang tampak remeh.
Kerumunan, sorakan, dan pertandingan hanyalah permukaan dari sesuatu yang jauh lebih dalam, sebuah pergulatan manusia untuk tetap merasa berarti di tengah hidupnya yang serba tidak pasti.
Seperti yang kusadari kemudian, setiap aksi di lapangan, setiap lompatan, dan tepuk tangan bukan hanya tontonan.
Namun, sesungguhnya merupakan cermin dari pergulatan hidup yang lebih besar, kebutuhan untuk dilihat, diakui, dan merasa menjadi bagian dari sesuatu yang melampaui dirinya sendiri.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News


