wajah baru pemikiran islam di era digital - News | Good News From Indonesia 2025

Wajah Baru Pemikiran Islam di Era Digital

Wajah Baru Pemikiran Islam di Era Digital
images info

pixabay (joko narimo)


Beberapa tahun terakhir, kita dapat melihat perubahan besar dalam cara umat Muslim mempelajari agama. Jika dulu masyarakat belajar melalui ustaz di mesjid, majelis taklim, atau pesantren, kini sebagian besar terutama generasi muda justru lebih banyak belajar agama lewat platform digital seperti TikTok, YouTube, dan Instagram Reels.

Fenomena ini bukan sekedar perubahan media, tetapi juga perubahan otoritas keagamaan, cara berpikir, serta cara memahami ijtihad, yaitu upaya intelektual dalam menggali dan menafsirkan ajaran Islam.

Era digital telah melahirkan wajah baru pemikiran Islam modern. pertanyaannya adalah: apakah kita siap menghadapinya?

Internet telah melahirkan generasi baru pendakwah: ulama digital, Influencer dakwah, dan pendakwah populer yang hadir lewat video pendek maupun siaran langsung.

PPIM UIN Jakarta dalam laporan Literasi Keagamaan Generasi Z (2023) menemukan bahwa lebih dari 70% anak muda Indonesia mendapatkan pengetahuan agama dari media sosial, bukan dari lembaga pendidikan formal.

baca juga

Perubahan ini membuat otoritas agama menjadi lebih cair dan terdemokratisasi. Ustaz tidak lagi dibatasi oleh latar pendidikan tradisional, namun siapapun yang dianggap "menarik", "jelas", atau "relatable" dapat dengan cepat menjadi rujukan keagamaan meskipun kapasitas keilmuannya tidak selalu dapat dipastikan. Popularitas dalam era digital sering kali lebih menentukan daripada kualitas keilmuan.

Gary R. Bunt dalam Hashtag Islam menyebut fenomena ini sebagai digital authority shift, yaitu perpindahan otoritas ke tokoh-tokoh yang di bentuk oleh algoritma, bukan oleh lembaga agama atau otoritas tradisional.

Padahal, jauh sebelum hadirnya internet, dunia Islam telah memiliki tradisi pemikiran modern yang menekankan rasionalitas dan pembaruan. Muhammad Abduh mengajak umat keluar dari ijtihad buta dan menggunakan akal dalam memahami agama.

Fazlur Rahman menegaskan pentingnya ijtihad kontekstual agar ajaran Islam selaras dengan kebutuhan zaman.

Ali Shariati melihat agama sebagai kekuatan sosial yang perlu menjawab persoalan kemanusiaan dan keadilan.

Semua tokoh ini memandang Islam sebagai ajaran yang dinamis dan mampu beradaptasi. Di era digital, gagasan mereka justru semakin relevan karena tantagan baru muncul lebih cepat dan lebih kompleks.

baca juga

Kini muncul fenomena baru: konflik antara otoritas lama dan otoritas digital. Otoritas lama meliputi ulama pesantren, akademisi Muslim, tokoh organisasi besar (NU dan Muhammadiyah), serta lembaga fatwa. Sementara otoritas baru meliputi ustaz TikTok, pendakwah YouTobe, influencer tanpa latar belakang ilmu agama, hingga kreator konten dakwah animasi. 

Konflik ini bukan berupa pertentangan langsung, tetapi dampak dari perbedaan cara menjelaskan agama, perebutan perhatian publik, munculnya dakwah instan, simplikasi ajaran, dan polarisasi antara "ustaz viral vs ustaz tradisional".

BBC Indonesia bahkan menyebut fenomena ini sebagai "pergeseran otoritas paling besar dalam sejarah Islam modern".

Pada titik ini, ijtihad bukan hanya soal metode keilmuan, tetapi juga soal siapa yang paling didengar dan diikuti.

Generasi Z yang lahir dalam budaya digital menghadapi tantangan yang unik. Menurut PPIM UIN Jakarta, sebagian besar Gen Z belajar agama lewat video pendek, jarang membaca buku atau kitab, dan lebih mempercayai tokoh yang lucu, sederhana, dan penyampainnya "asyik".

Padahal, ajaran agama tidak bisa terus-menerus disederhanakan. Apalagi algoritma media sosial sering mempromosikan konten yang ekstrem, emosional, atau sensasional agar mudah viral.

Tantangan terbesar bagi Generasi Z bukan hanya kurangnya pengetahuan, tetapi kurangnya kemampuan menyaring informasi agama di tengah banjirnya konten digital. Karena itulah literasi agama digital menjadi kebutuhan mendesak di Indonesia.

baca juga

Dalam konteks ini, ijtihad sebagai proses berpikir kritis justru menemukan relevansinya kembali. Ijtihad modern berarti memahami konteks sosial baru, mempertimbangkan dampak media digital, memisahkan mana dalil dan mana opini, menghindari cherry picking ayat, serta menghubungkan teks agama dengan persoalan kontemporer.

Fazlur Rhaman menyebut ijtihad sebagai double movement, yaitu gerak bolak-balik antara teks dan konteks. Dalam duniaa digital, konteks baru muncul setiap hari: kecerdasan buatan, hoaks keagamaan, polarisasi sosial, dakwah viral, hingga ekonomi kreator.

Artinya, ijtihad modern bukan hanya milik ulama, tetapi keterampilan intelektual yang perlu dimiliki umat. Jika ijtihad dipahami sebagai proses berpikir kritis, maka internet bukanlah ancama bagi Islam, tetapi kesempatan untuk menghadirkan pemahaman yang lebih segar dan relevan.

Internet telah mengubah cara umat mempelajari agama, memilih otoritas, dan memahami Islam. Perubahan ini tidak bisa ditolak, tetapi perlu diarahkan dengan kebijaksanaan.

Ulama digital akan terus muncul, influencer keagamaan akan terus berbicara, dan TikTok serta YouTube akan tetap menjadi ruang dakwah baru.

Yang perlu dijaga adalah kemampuan berpikir kritis, sesuatu yang justru menjadi inti dari ijtihad modern. Islam selalu hidup dan mampu berbicara pada setiap zaman. kini, ia sedang berbicara lewat layar ponsel kita.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

EM
KG
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.