Setiap 20 November, dunia berhenti sejenak untuk memperingati Hari Anak Sedunia, sebuah momentum global yang telah ditetapkan PBB sejak 1954.
Lebih dari sekadar seremoni tahunan, hari ini mengingatkan kita bahwa anak-anak berhak tumbuh dalam lingkungan yang aman, penuh kasih, dan terbebas dari segala bentuk kekerasan.
Melalui UNICEF, peringatan ini berubah menjadi ruang solidaritas internasional untuk mendengarkan suara anak-anak, memahami kebutuhan mereka, dan memperjuangkan hak-hak mereka.
Di Indonesia, peringatan ini seharusnya menjadi cermin yang jujur: apakah kita sungguh telah memberikan perlindungan yang mereka butuhkan?
Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) 2024 dari KemenPPPA menunjukkan kondisi yang jauh dari ideal.
Lebih dari setengah anak Indonesia usia 13–17 tahun, tepatnya 50,78%, pernah mengalami salah satu kekerasan (fisik, emosional, atau seksual) sepanjang hidup mereka, dan 33,64% masih mengalaminya dalam 12 bulan terakhir.
Berbagai kasus yang mencuat semakin memperlihatkan betapa genting situasi tersebut. Insiden ledakan di SMAN 72 Jakarta, yang melibatkan seorang siswa berusia 17 tahun yang diduga menjadi korban bullying berkepanjangan, menunjukkan bagaimana kurangnya afeksi keluarga, dan paparan digital berbahaya dapat menumpuk menjadi beban psikologis yang berat (Agungnoe, 2025).
Di Probolinggo, video viral seorang siswa SD yang dipukul dan ditendang teman sebayanya, disaksikan oleh anak-anak lain yang justru bersorak (Rofiq, 2025), mengungkap normalisasi kekerasan akibat absennya empati.
Sementara itu, kasus di Purworejo melibatkan siswa SMP berusia 13 tahun yang dianiaya pelajar SD berusia 14 tahun (Krisiandi & Apriliano, 2025), memperjelas bahwa anak, baik pelaku maupun korban, berada dalam posisi rentan dan memerlukan pendampingan orang dewasa.
Ketiga kasus ini menunjukkan pola yang konsisten dan mengkhawatirkan: anak-anak tidak hanya rawan menjadi korban, tetapi juga dapat terdorong menjadi pelaku ketika lingkungan gagal memenuhi kebutuhan emosional, keamanan, dan pengawasan yang memadai.
Rangkaian insiden ini memperlihatkan bahwa kekerasan terhadap/pada anak bukan hanya persoalan personal, melainkan cerminan kegagalan lingkungan sosial secara keseluruhan.
Karena itu, pembahasan mengenai kekerasan terhadap anak tidak dapat dilepaskan dari pentingnya pemenuhan hak-hak mereka sejak dini. Konvensi Hak Anak (KHA) pada pasal 31 menyatakan bahwa setiap anak berhak beristirahat, bermain, serta mengikuti kegiatan budaya dan kesenian (KemenPPPA, 2023).
Hak-hak ini mungkin terdengar sederhana, tetapi memainkan peran vital dalam perkembangan emosional dan sosial anak.
Bermain merupakan kegiatan yang sangat penting bagi perkembangan anak, karena dapat meningkatkan pertumbuhan kognitif, fisik, sosial, dan emosional mereka (Davey & Lundy 2009).
Anak-anak juga berhak mendapatkan waktu istirahat dan waktu luang yang cukup, hal tersebut sangat penting bagi kesehatan dan kesejahteraan mereka secara keseluruhan (Rico & Janot 2021). Begitu juga terlibat dalam kegiatan budaya dan seni dapat menumbuhkan kreativitas, ekspresi emosi, dan kesadaran budaya (Váradi & Józsa 2023). Hal ini juga mendukung perkembangan identitas dan rasa memiliki anak.
Memberikan ruang bagi anak untuk terlibat dalam berbagai kegiatan budaya merupakan bagian penting dari pemenuhan hak mereka untuk tumbuh dan berkembang secara utuh. Melalui kegiatan seperti membuat musik atau merancang karya seni, anak akan belajar membangun kepercayaan diri, memahami timbal balik, dan menumbuhkan rasa saling percaya satu sama lain (Buys & Miller 2009).
Ketika mereka diajak menjaga dan mempromosikan warisan budaya lewat proyek-proyek lokal, kesadaran serta apresiasi mereka terhadap nilai-nilai budaya ikut tumbuh, sekaligus membantu pelestarian budaya itu sendiri (Menkshi et al. 2021). Partisipasi yang tinggi dalam aktivitas seni dan budaya juga terbukti mempererat ikatan sosial di masyarakat dan mendorong sikap hidup yang lebih sehat (Kong 2016), sehingga anak tidak hanya berkembang secara pribadi, tetapi juga merasa menjadi bagian dari komunitas yang mendukung mereka.
Hak anak untuk berpartisipasi dalam budaya dan seni memiliki dimensi yang jauh lebih strategis daripada yang sering dipahami. Partisipasi budaya bukan hanya bentuk pemenuhan hak, tetapi merupakan mekanisme sosial yang menghubungkan perkembangan pribadi anak dengan struktur sosial di sekitarnya.
Ketika anak diberi ruang untuk beristirahat, bermain, dan berkreasi, mereka tidak hanya berkembang secara individual, tetapi juga belajar memahami dirinya sebagai bagian dari jaringan sosial dan budaya yang lebih luas.
Hal ini mengindikasikan bahwa pemenuhan Pasal 31 dalam KHA sebetulnya berfungsi sebagai intervensi preventif terhadap berbagai bentuk kerentanan anak, termasuk risiko kekerasan dan pengabaian.
Melalui aktivitas budaya dan seni, anak diperkenalkan pada nilai-nilai yang membangun empati, kerja sama, dan rasa memiliki, yang semuanya merupakan pondasi penting bagi pembentukan lingkungan sosial yang aman.
Pemenuhan hak anak untuk berpartisipasi dalam kegiatan budaya dan seni dapat diwujudkan melalui berbagai aktivitas yang dekat dengan kehidupan mereka sehari-hari, di lingkungan rumah maupun sekolah.
Anak-anak dapat terlibat dalam perayaan budaya seperti lomba-lomba pada Hari Kemerdekaan 17 Agustus, yang tidak hanya menjadi ajang perlombaan tetapi juga ruang untuk membangun kebersamaan dan sportivitas.
Mereka juga bisa mengikuti kegiatan seni tradisional, seperti belajar menari tari daerah, membatik, memainkan alat musik tradisional, atau mengikuti sanggar seni lokal yang mengajarkan kreativitas sekaligus memperkuat identitas budaya.
Selain itu, partisipasi dalam ekstrakurikuler sekolah, festival desa, pementasan drama rakyat, kelas menggambar atau kerajinan tangan dapat membuka peluang bagi anak untuk mengekspresikan diri, melatih kerja sama, dan memahami nilai-nilai budaya di lingkungan mereka.
Melalui kegiatan-kegiatan tersebut, hak anak untuk tumbuh dalam suasana budaya yang kaya dapat benar-benar terpenuhi, sambil membangun lingkungan sosial yang lebih inklusif dan suportif bagi perkembangan mereka.
Dengan memberi ruang bagi anak untuk bermain, berekspresi, dan belajar dari tradisi di sekitarnya, kita tidak hanya menjaga identitas budaya tetap hidup, tetapi juga menumbuhkan generasi yang lebih percaya diri, empatik, dan sadar akan akar budayanya.
Pada akhirnya, dukungan kecil yang kita berikan hari ini dapat menjadi pondasi kuat bagi masa depan mereka.
Hari Anak Sedunia mengingatkan bahwa perlindungan anak bukan hanya kewajiban moral, tetapi investasi bagi masa depan. Anak-anak tidak seharusnya menjadi angka dalam laporan kekerasan atau wajah dalam video perundungan. Perlindungan anak adalah tugas bersama: keluarga, sekolah, pemerintah, dan masyarakat.
Dengan menciptakan lingkungan yang penuh empati, ruang bermain yang layak, dan kegiatan budaya yang memperkaya jiwa mereka, kita bukan hanya memperingati sebuah hari, kita sedang memastikan masa depan Indonesia yang lebih manusiawi dan beradab bagi setiap anak.
Penulis: Annisa Maulidina Haqi, Edi Dwi Riyanto (Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Airlangga)
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News