Banjir bandang dan longsor melanda wilayah Tapanuli Tengah, Sumatra Utara pada akhir November 2025. Material tanah dan pepohonan menutup seluruh akses darat. Akibatnya, desa-desa terisolasi, sehingga bantuan logistik pun mandek.
Banyak keluarga yang berduka, termasuk Marlina. Ia jadi salah satu korban yang kehilangan keluarga besarnya. Empat anggota keluarga yang merupakan satu marga, Tobing, meninggal dunia akibat longsor. Saat itu, mereka berencana melayat ketika bencana susulan datang.
“Kami masih berencana melayat ketika tiba-tiba banjir dan longsor terjadi di mana-mana. Rumah kami tidak terkena air, jadi warga mengungsi ke rumah kami. Listrik mati, air hilang, jaringan putus total. Rasanya gelap sekali,” kata Marlina dalam keterangannya, Minggu (7/12/2025), dikutip dari Humas Polda Sumut.
Rumah Marlina Menjadi Tempat Berlindung
Ya, pada Rabu, rumah Marlina menjadi titik kumpul warga, meskipun tak ada air bersih dan jaringan internet. Bahkan, logistik pun mulai menipis.
Jumat pagi, Marlina bertemu warga dari kampungnya yang berjalan kaki selama tiga hingga empat jam untuk mencari beras. Warga tersebut menitipkan uang dan meminta Marlina membelikan beras untuk dibawa pulang.
“Mereka menitipkan uang ke saya untuk membelikan beras agar dibawa pulang. Kami menangis semua ketika itu. Mereka benar-benar berjalan jauh hanya demi mencari beras. Saya antar dan saya doakan agar mereka tiba selamat ke. kampung,” ujar Marlina.
Situasi kian memburuk ketika Marlina mengetahui rumah orang tuanya dan beberapa keluarga lain telah amblas terbawa longsor. Jalur darat benar-benar tertutup total oleh longsoran tanah dan material banjir.
Mengatasi hal tersebut, Marlina bersama warga berinisiatif untuk membuka jalur alternatif menuju Bukit Anugrah. Mereka menebas hutan dengan alat seadanya .
Marlina Tentukan Titik Penurunan Logistik
Operasi bantuan untuk korban banjir bandang dan longsor di Tapanuli Tengah dilakukan melalui jalur udara. Saat itu, tim penerbang dan relawan bertemu dengan Marlina Wiguna Lumban Tobing. Ia adalah seorang ibu Bhayangkari yang datang untuk membantu distribusi bantuan logistik.
Sebelum misi udara dilakukan, Marlina berjalan kaki menembus hutan dari desanya menuju Kota Pandan–Sibolga. Perjalanan itu ia tempuh untuk mencari pertolongan, agar bantuan bisa menjangkau Desa Bonandolok yang terisolasi berhari-hari.
Saat bertemu di lokasi keberangkatan helikopter, kondisi Marlina masih dalam keadaan berduka atas kematian anggota keluarganya akibat bencana yang sama.
Dalam penerbangan tersebut, Marlina memandu langsung arah helikopter. Ia menunjukkan lokasi desanya dan menjelaskan kondisi medan dari udara. Dari atas, desa tampak seperti tidak berpenghuni. Padahal, warga telah berkumpul di titik-titik aman sambil menunggu bantuan.
Pengetahuan Marlina tentang wilayah itu membantu tim bantuan udara menemukan area terbuka yang aman untuk pendaratan dan penyaluran bantuan logistik.
Setelah helikopter berhasil mendarat dan bantuan disalurkan kepada warga, Marlina sempat bertemu dan berpelukan dengan keluarganya. Usai warga menerima bantuan, Marlina bersama tim bantuan udara segera kembali ke Bandara F. Lumban Tobing Sibolga untuk melanjutkan misi kemanusiaan lainnya.
Bagi tim yang terlibat, peran Marlina sangat membantu. Ia menjadi pemandu tim bantuan udara dalam menemukan lokasi warga desa yang terisolasi. Tanpa pengetahuan lokal yang ia miliki, proses pendaratan helikopter dan penyaluran bantuan akan jauh lebih sulit.
Itulah sebabnya perjuangan Marlina dikenang sebagai bentuk kepedulian warga sipil yang lahir dari rasa tanggung jawab terhadap sesama, terutama terhadap desanya sendiri.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News